WAHANA Visi Indonesia (WVI) memulai program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sejak 1996. Proyek itu kelanjutan dari program pengembangan masyarakat dan program lain yang dilakukan sebelumnya.
Pada saat masuk ke Sanggau, lembaga swadaya masyarakat yang menjadi mitra World Vision, ini menghadapi sejumlah persoalan sosial kemasyarakatan yang cukup pelik dan mendesak untuk diselesaikan.
Beberapa persoalan itu, antara lain wabah diare, partisipasi pendidikan rendah, lapangan kerja terbatas, dan jeratan kemiskinan, menjadi potret warga keseharian. Sebuah suguhan yang sangat kontras di antara melimpahnya potensi kekayaan alam dan ekonomi setempat.
Sungai-sungai besar yang mengaliri wilayah Sanggau sejatinya selalu menjadi berkah dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Namun yang terjadi, bentang alam itu acap kali mendatangkan penyakit karena pencemaran sehingga airnya tidak layak dikonsumsi. (BACA: Bentang Pipa Alirkan Asa)
Hamparan hutan karet kian sulit diandalkan sebagai lumbung pendapatan keluarga. Produktivitas karet terus menyusut karena digerogoti usia dan minimnya perawatan.
‘’Mereka bertanam karet secara tradisional dan tidak menggunakan bibit unggul,’’ jelas Napis, Koordinator WVI Area Nangamahap.
Ketidakberdayaan warga berpangkal pada kualitas hidup dan sumber daya manusia. WVI kemudian memetakan empat bidang garapan utama yang bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki keadaan. Keempat bidang itu yaitu pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dan pengorganisasian masyarakat.
Mereka melakukan berbagai pendampingan dan pembelajaran dengan memberdayakan potensi lokal setempat.
Tahun ini adalah fase pamungkas. Sejak September lalu, WVI resmi mengakhiri pengabdian mereka di Sanggau. Puluhan fasilitas air bersih serta ratusan sarana sanitasi, kesehatan, dan pendidikan di empat kecamat an pendampingan dibangun selama 15 tahun.
Alhasil, kualitas hidup warga setempat pun mulai terdongkrak. Balita penderita diare yang semula mencapai 41,6% menurun menjadi 34,2%. Angka partisipasi sekolah berhasil dikatrol dari 65,2% menjadi 86,7%, dan pendapatan ratarata keluarga pun merangkak naik dari Rp1,5 juta menjadi sekitar Rp1,75 juta sebulan.
Ikene Sere Edwina dari bagian hubungan media WVI menambahkan, WVI tidak mungkin terus-menerus mendampingi warga di satu lokasi. Masih banyak tempat lain yang membutuhkan bantuan.
Selama pendampingan pun, telah lahir orang-orang sukses yang menjadi agen perubahan. Laurensius Turut, 63, petani asal Kecamatan Nangamahap, berhasil mengembangkan karet unggul. Dari menyadap karet, Rp300 ribu sehari bisa ia bawa pulang untuk kebutuhan keluarga. Atau Noraini, 46, dari Desa Batu Pahat, yang mengembangkan lembaga pendidikan anak usia dini gratis di sana.
Cerita kesuksesan juga terjadi di Dusun Keladang, Desa Sotok, Kecamatan Sekayam. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Boh Odup Mengket berhasil mengembangkan Credit Union Mura Kopa. Koperasi kredit tersebut kini beranggotakan 7.000 orang dengan perputaran modal mencapai Rp40 miliar. (Aries Munandar)
COMMENTS