SUDAH beberapa hari ini perasaan Saro’ah, 74, gusar dan tak menentu. Terkuaknya penyebab kematian beberapa siswa (praja) Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang diberitakan media massa, beberapa hari lalu seakan membangkitkan luka lama perempuan tua ini.
Warga Gang Apel II Jalan Apel, Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) tidak menyangka, di akhir masa tuanya akan menerima kabar yang memilukan hatinya.
Peristiwa ini bermula dari pernyataan Dosen IPDN Inu Kencana Syafii di berbagai media massa yang mengungkapkan misteri penyebab kematian 35 praja IPDN dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Termasuk kematian Alian B Jerani, Praja asal Kalbar, 14 tahun lalu.
Berdasarkan pemberitahuan resmi yang diterima pihak keluarga dari IPDN (waktu itu masih bernama STPDN), penyebab kematian putra ketujuh Saro’ah ini karena gegar otak akibat jatuh dari teras lantai II Barak Bengkulu. Namun, menurut kesaksian Inu, telah terjadi tindak kekerasan sebelum pemuda kelahiran Sambas, Kalbar itu meregang nyawa.
Semula pihak keluarga percaya dengan isi surat resmi tertanggal 15 Juni 1993 itu. Tetapi, sejak munculnya pemberitaan mengenai penyebab dibalik kematian 35 calon pamong praja itu membuat Saro’ah gamang dan meragukan penyebab kematian Alian versi IPDN tersebut.
“Perasaan saya selama ini sudah tenang. Namun, ketika mendengar berita itu (kesaksian Inu) membuat hati saya pilu,” katanya dengan nada tersekat menahan tangis.
Terkuaknya misteri kematian praja tingkat II angkatan 1991-1992 tersebut seakan menjadi jawaban atas mimpi-mimpi yang pernah dialami Saro’ah. Janda beranak sembilan ini menyakini bunga tidur itu merupakan sebuah firasat, anaknya meninggal dalam keadaan tak berdosa.
“Dalam mimpi itu, Alian yang berpakaian serba putih berjalan di atas meja putih. Sementara saya berjalan di bawah. Sesampai di ujung meja, tiba saya tersentak dan langsung terjaga dari tidur sambil spontan beristigfar,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Mimpi di tidur siangnya itu terjadi tak lama setelah dia berziarah ke makam Alian di Taman Pemakan Umum (TPU) Desa Cibeusi, Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, sekitar 6 bulan setelah kematian putra tersebut.
Sejauh ini, pihak keluarga Alian menyakini kebenaran dari pernyataan Inu tentang penyebab kematian Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak tersebut, karena berdasarkan sebuah penelitian. Apalagi, jika melihat peristiwa kematian Wahyu Hidayat pada 2003 dan Cliff Muntu pada 2 April 2007 yang disebabkan tindakan kekerasan yang dilakukan seniornya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan kejadian itu juga dialami Alian. Namun, mereka mengaku pasrah dan tidak berniat meneruskan pengungkapan kasus tersebut.
“Kami iklas dengan kepergiannya. Ini sudah kehendak Allah SWT. Tapi, kami meminta pemerintah menjamin agar kekerasan serupa tidak akan terjadi lagi di masa mendatang,” kata Munziri,67, dan Ismet,50, Paman dan Abang Alian.
Mereka sangat setuju jika lembaga pencetak pamong praja itu dibubarkan guna mencegah jatuhnya korban-korban baru.
“Seharusnya sebagai calon pamong praja mereka mengembangkan sikap-sikap sosial yang baik. Sebagai bekal ketika nantinya terjun ke masyarakat. Bukan malah memelihara budaya kekerasan,” sesal Munziri yang juga pensiunan guru tersebut.
Di mata keluarganya, Alian ialah anak yang pintar dan rajin membantu orangtua. Hingga SMA, pria perawakan kurus tinggi ini masih berkeliling kampung untuk menjajakan aneka kue tradisional bikinan ibunya. Dia bersama 19 orang rekannya terpilih menjadi siswa STPDN utusan Kalbar pada 1991.
“Semasa sekolah dia termasuk anak yang berprestasi. Dan sepengetahuan saya tidak ada satupun catatan buruk mengenai prilakunya selama di sini,” kata Supran Hidayat, guru SMA Alian. (Aries Munandar)
COMMENTS