Pelepasliaran kini bukan lagi menjadi alternatif, tapi telah menjadi kebutuhan untuk menyelamatkan orang utan dari kepunahan.
Aries Munandar
ONGKY tergolek lemah di pembaringan yang terbuat dari keranjang rotan. Sorot matanya menerawang jauh, seakan membayangkan kerasnya kehidupan yang bakal ia lakoni di hari mendatang.
Nasib Ongky sungguh tragis. Kehangatan dan ikatan kebersamaan dengan induknya harus berakhir di tangan pemburu. Sang induk tewas, sementara Ongky terluka akibat serpihan peluru.
Insiden penembakan bermula ketika bayi orang utan (Pongo pygmaeus) berusia 2,8 bulan itu bersama induknya berpapasan dengan kawanan pemburu di kawasan Hutan Wong Jelia, Desa Mensiau, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), awal Juni lalu.
Kawanan pemburu kemudian menembaki mereka sehingga menyebabkan induk Ongky tewas seketika. Ongky, yang pada saat kejadian sedang digendong induknya, pun tidak luput dari bahaya. Ia terkena serpihan peluru dan terhempas dari ketinggian 40 meter dari atas pohon.
Setelah puas menembaki makhluk tak berdosa itu, para pemburu kemudian meninggalkan begitu saja kedua orang utan tersebut. Ongky dibiarkan tergeletak di tanah dengan tubuh terluka dan memar. Sementara itu, jasad induknya tetap tersangkut di atas pohon.
Upaya evakuasi baru dilakukan keesokan harinya setelah sekelompok warga menemukan Ongky dan melaporkan kejadian itu ke aktivis WWF di Putussibau, Kapuas Hulu. Selanjutnya, Ongky diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar untuk menjalani perawatan intensif di Internasional Animal Rescue, Ketapang.
“Waktu ditemukan warga, sekujur tubuh Ongky sudah dikerumuni semut dan serangga lainnya,” kata Koordinator Biologi Konservasi WWF Indonesia Program Kalbar Albertus Tjiu. Kondisinya kini semakin membaik.
Penegakan hukum
Insiden yang menimpa Ongky dan induknya hanya sepenggal kisah klasik tentang ancaman terhadap populasi orang utan di Kalimantan Barat. Masih banyak ‘Ongky’ lain yang mengalami nasib serupa.
Satu-satunya hewan primata besar yang hidup di Asia ini masih menjadi incaran empuk para pemburu untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan secara ilegal. Pasar gelap perdagangan satwa dilindungi ini tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi juga sudah merambah hingga ke antarpulau dan luar negeri.
Survei Yayasan Titian menyebutkan terdapat 12 kasus perdagangan orang utan di Kalbar dalam setahun terakhir. Orang utan yang umumnya masih bayi itu hanya dihargai sekitar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per individu di tingkat penadah pertama.
Sementara itu, data Yayasan Gunung Palung Ketapang mengungkapkan terdapat 29 dari 59 orang utan, yang berada di tangan masyarakat, disita petugas selama 2007-2010. Namun, tidak satu pun dari kasus tersebut yang diproses secara hukum. Apalagi sampai disidang di pengadilan.
“Bukan hanya di Kalbar, di seluruh Indonesia pun belum pernah ada (penyelundup dan pemilik orang utan) yang ditangkap. Tidak seperti pada kasus perdagangan dan penyelundupan harimau sumatra atau trenggiling,” kata Direktur Yayasan Titian Pontianak Yuyun Kurniawan.
Terdapat dua subspesies orang utan yang hidup di Kalbar, yakni subspesies Pongo pygmaeus pygmaeus dan Pongo pygmaeus wurmbii. Populasi kedua subspesies ini di habitat alam diperkirakan tinggal 4.000 individu.
Habitat alam Pongo pygmaeus pygmaeus terkonsentrasi di sekitar kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kapuas Hulu. Sementara itu, Pongo pygmaeus wurmbii di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) di Kabupaten Ketapang.
Pongo pygmaeus pygmaeus adalah subspesies orang utan di Kalbar yang paling terancam karena populasi mereka saat ini diperkirakan tidak lebih dari 1.500 individu. Selain perburuan dan perdagangan liar, praktik perambahan dan eksploitasi hutan juga memberikan kontribusi besar terhadap laju ancaman kepunahan orang utan.
“Pongo pygmaeus pygmaeus mengalami habitat lost (kehilangan habitat) yang cukup tinggi akibat eksploitasi dan fragmentasi hutan,” kata Direktur WWF Indonesia Program Kalbar Hermayani Putera.
Lepas liar
Upaya konservasi orang utan di Kalbar juga dihadapkan pada persoalan lokasi pelepasliaran. Ketiadaan kawasan khusus ini mengakibatkan puluhan orang utan hasil sitaan petugas tidak pernah kembali ke Kalbar setelah dikirim ke berbagai pusat rehabilitasi.
Sebagai gambaran, WWF Indonesia Program Kalbar mencatat terdapat 41 orang utan dari provinsi itu dikirim ke pusat rehabilitasi di Nyarumenteng dan Tanjungputing di Kalimantan Tengah (Kalteng) selama 1999-2007. Setelah menjalani rehabilitasi, orang-orang utan tersebut langsung dilepasliarkan ke hutan di Kalteng.
Jika dibiarkan berlarut-larut, ketiadaan lokasi pelepasliaran ini tentu saja dapat menjadi ancaman tersendiri bagi populasi orang utan di Kalbar.
Di satu sisi, populasi mereka di habitat alam semakin tergerus, sedangkan orang utan yang menjalani rehabilitasi tidak pernah kembali ke daerah ini. “Rencana pembangunan lokasi pelepasliaran orang utan di Kalbar masih dalam tahap persiapan survei awal,” ujar staf Sistem Informasi Geografi WWF Indonesia Program Kalbar Amri Yahya.
Salah satu lokasi yang dicadangkan untuk kawasan pelepasliaran tersebut, yakni di sekitar daerah penyangga TNBK di Kecamatan Putussibau Selatan, Kapuas Hulu, seluas 170 ribu hektare (ha).
“Selain itu, kami tengah menginisiasi rencana pembangunan kawasan koridor seluas 73 ribu ha, yang menghubungkan habitat utama orang utan di TNBK dan TNDS,” ungkap Hermayani.
Keberadaan kawasan pelepasliar an kini mutlak dibutuhkan untuk menyelamatkan populasi orang utan. Apalagi, pemerintah dan semua pemangku kepentingan telah menyepakati, seluruh orang utan di pusat rehabilitasi sudah harus dilepasliarkan ke habitat alam paling lambat pada 2015.
Kesepakatan itu tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang Utan Indonesia 2007-2017.
Namun, hingga kini masih terdapat sekitar 1.200 orang utan menghuni sejumlah pusat rehabilitasi di Kalimantan. Proses pengembalian ribuan orang utan ke habitat alam itu tersendat karena sulitnya mencari lokasi pelepasliaran.
Sejumlah prasyarat harus dipenuhi sebelum areal itu ditetapkan sebagai kawasan khusus untuk pelepasliaran orang utan. Mulai dari kondisi ekosistem hingga kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Selain itu, yang tidak kalah penting ialah kepastian atau status hukum kawasan serta skema pendanaan. Status hukum melalui penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan sumber pendanaan berkelanjutan hingga kini masih menjadi salah satu isu utama dalam setiap pembahasan mengenai konservasi orang utan di Tanah Air.
COMMENTS