SEORANG perempuan tua menapaki anak tangga dan masuk ke pondok setinggi 2 meter. Langkahnya pelan. Di belakangnya ada perempuan sebaya membawa seikat daun rinjuang dan semangkuk darah babi. Keduanya memasuki pondok tanpa atap itu. (BACA: Rekam Budaya Dayak Kayaan)
Keduanya lantas duduk bersila sambil mulutnya berkomat-kamit melafalkan doa dan mantra. Seusai ritual, mereka berdiri tegak dan siap memimpin prosesi mela, sebuah prosesi penyucian diri dalam adat Dayak Kayaan.
Prosesi mela diawali dengan tarian Ngetdo dan Maraa’ uting. Ritual ini berlangsung di rumah adat betang, Pontianak, Kalimantan Barat, pekan lalu. Tujuan upacara ini untuk mempersembahkan sarana dan penyampaian doa kepada Tuhan.
Kemudian prosesi dilanjutkan dengan penyembelihan seekor babi sebagai kurban. Hati hewan kurban itu diambil dan dipersembahkan kepada arwah leluhur. Adapun darahnya digunakan untuk ritual mela.
Penyucian diri dalam mela dilakukan dengan cara menyapukan seikat rinjuang berlumur darah babi ke lengan kanan seseorang. Prosesi yang dipimpin seorang perempuan sesepuh adat ini merupakan rangkaian upacara dange atau syukuran hasil panen.
‘’Mela merupakan rangkaian terpanjang dalam ritual dange. Kalau di kampung, prosesi ini baru akan berakhir jika semua warga sudah di-mela,’’ jelas Dominikus Uyub, pembawa acara upacara adat dange.
Setiap tahun, komunitas adat yang tinggal di daerah aliran Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu, menyelenggarakan upacara adat dange.
Upacara selalu dilaksanakan setiap selesai masa panen padi. Upacara ini diawali dengan pembangunan pondok yang disebut lepo dange. Pondok ini bertiang kayu yang diambil dari pohon hubo, berangka dinding bambu yang penuh dengan hiasan.
Mengapa dipilih kayu hubo? Alasannya pohon hubo diyakini sebagai tanaman pertama yang tumbuh di dunia, kemudian disusul bambu.
Ada delapan pasang kayu hubo yang dijadikan tiang penyangga lepo dange. Jumlah tersebut melambangkan delapan fase kehidupan manusia di dunia, mulai dari lahir hingga ajal menjemput. Tiang yang menyertakan sebagian akar itu ditancapkan terbalik, yakni bagian pangkal kayu yang berakar berada di posisi atas.
‘’Maknanya adalah kehidupan itu sesungguhnya berasal dari atas (langit). Namun, kehidupan di atas dengan di bawah (bumi) saling berhubungan,’’ kata Ketua Adat Kayaan Kampung Sungaiting Ignatius Sebastinus Faran.
Lepo dange tidak memiliki atap. Filosofinya, jika sesuatu itu berasal dari atas atau langit, tidak membutuhkan perlindungan. Ia bisa melindungi diri sendiri.
Lepo dange merupakan pusat aktivitas ritual selama upacara dange berlangsung. Segala persembahan dan permintaan kepada Tuhan dilakukan di dalam pondok seluas 8 meter persegi itu. Setelah semua rangkaian ritual utama usai, pondok ini kemudian dirobohkan melalui prosesi adat.
Biasanya upacara adat dange ini berlangsung selama 10 hari, terdiri dari ritual utama selama delapan hari dan ritual tambahan selama dua hari.
‘’Selama dange, semua warga berpantang mengolah tanah dan menebang pohon. Sebab, doa-doa di dange berkaitan dengan semua makhluk di bumi,’’ jelas Faran.
Dayung
Seluruh rangkaian prosesi adat dilakukan para dayung atau pelaksana ritual adat. Mereka dipimpin seorang senior yang disebut dayung ayaa’.
Jabatan dayung dan dayung ayaa’ selalu dipegang perempuan. Mereka menjadi tokoh sentral dalam setiap upacara adat. Pada umumnya dayung, terlebih dayung ayaa’ memiliki posisi terpandang dan pemimpin spiritual tertinggi dalam komunitas adat Kayaan. (BACA: Tersentak oleh Riset UNESCO)
Masyarakat Dayak Kayaan dikenal sangat menghargai perempuan dan menempatkan mereka di posisi terhormat. Para dayung ini terpilih apabila mereka sering bertingkah laku tertentu. Seperti dikemukakan Ketua Paguyuban Hulaan Apo Kayaan Kalbar Aloysius Mering, perempuan yang sering kerasukan arwah berbicara dalam bahasa sastra Kayaan dan tidak dimengerti awam bisa menjadi dayung.
‘’Atau perempuan kerap mengalami demam panas tinggi dan sulit disembuhkan. Atau sering mendapat ilham melalui mimpi. Namun, mereka tetap harus menjalani prosesi,’’ jelasnya.
Prosesi menjadi dayung dilakoni dengan duduk sepanjang siang dan malam, sambil menghafal syair sastra dange dan memegang kepuak atau untaian tali dari kulit kayu. Mereka tidak boleh beranjak dari tempat duduk, termasuk buang hajat sekalipun sampai prosesi selesai. Prosesi dilakukan di ruangan istimewa, tempat tinggal hivi yang berada di rumah adat betang.
‘’Mereka duduk di bawah satu-satunya jendela di bilik milik hivi, dan tidak boleh ke mana-mana selama sembilan hari,’’ pungkas Uyub. (Aries Munandar)
COMMENTS