PERGELARAN Budaya Hulaan Apo Kayaan Kalimantan Barat di Pontianak berlangsung selama tiga hari. Pergelaran diawali dengan malam kesenian dan ditutup dengan rangkaian ritual dange.
Kegiatan itu telah berlangsung selama tiga tahun. Namun, tidak setiap tahun itu diselenggarakan secara besar-besaran karena alasan finansial. “Dibuat selang-seling. Jika tahun ini digelar secara meriah, tahun depan lebih sederhana. Begitu seterusnya,” ujar Ketua Paguyuban Hulaan Apo Kayaan, Kalimantan Barat, Aloysius Mering, seusai malam pergelaran seni, akhir Juli lalu. (BACA: Rekam Budaya Dayak Kayaan)
Dia menuturkan pergelaran budaya itu berangkat dari keperihatinan sejumlah tokoh Kayaan terhadap hasil penelitian yang dirilis Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu, dan Budaya (UNESCO). Riset itu memasukkan suku Kayaan sebagai salah satu komunitas budaya di dunia yang terancam punah.
“Kami terkejut saat membaca penelitian UNESCO, yang dimuat salah satu koran lokal pada tiga tahun lalu,” ungkap Aloysius.
Para tokoh Kayaan kemudian berkumpul untuk membahas penelitian itu. Mereka sepakat dan bertekad untuk berbuat sesuatu guna menghalau ancaman kepunahan tersebut. Salah satunya melalui pergelaran budaya dan pelaksanaan ritual dange di Pontianak.
Aloysius sebenarnya sudah lama menangkap gejala kepunahan tradisi leluhurnya. Gejala itu ia rasakan setiap kali pulang ke kampung halaman.
Birokrat dan pegiat budaya ini kerap terheran-heran saat menyimak dialek dan kosa kata yang digunakan generasi muda Kayaan karena sudah banyak bercampur aduk dengan bahasa lain.
Gejala lain yang sempat diperhatikannya ialah perubahan ritme dalam gerak tarian. Beberapa kesenian yang dibawakan kalangan muda saat ini dinilainya mulai melenceng dari pakem asli. “Gerakan tari sudah banyak yang dikreasikan dan itu terjadi di hampir semua tarian.”
Majelis Adat Dayak Nasional mengapresiasi upaya revitalisasi budaya yang dilakukan masyarakat Kayaan di Kalimantan Barat. Mereka salut dengan pengemasan acara yang terkesan apik sehingga menarik disaksikan khalayak.
“Terselenggaranya ritual dange ini menandakan budaya Dayak tidak akan pernah hilang (punah),” ungkap Deputi Majelis Adat Dayak Nasional BL Atan Palil.
Upaya pelestarian sebenarnya telah lama dirintis generasi tua yang menetap di komunitas adat Kayaan di Mendalam. Salah satunya ialah Alel Sano, 70. Ia membukukan prosesi dan tata cara beberapa ritual adat serta sastra Lawe dengan tulisan tangan.
Pendokumentasian secara sederhana itu dilakukan sejak 1950-an. Tujuannya agar generasi penerusnya kelak memiliki referensi tentang kebudayaan mereka. Pencatatan tersebut masih terus ia lakukan hingga saat ini. “Beberapa tulisan harus terus diperbarui karena menyesuaikan perkembangan bahasa Kayaan,” kata tokoh adat Kayaan tersebut. (Aries Munandar) LANJUT KE: Menyucikan Diri setelah Musim Panen Padi
COMMENTS