Modernisasi dan pandangan agama menjadi salah satu penyebab perempuan Dayak enggan memanjangkan telinga.
ARIES MUNANDAR
SETUMPUK anting-anting bergelantungan di kedua daun telinga Fransiska Buaa, 60. Tidak ada keluhan apalagi risih saat ia mengenakannya. Padahal satu anting-anting beratnya sekitar 10 gram.
Ada delapan anting-anting yang dipasang di telinganya. Anting-anting itu merupakan salah satu koleksi Fransiska.
Ke mana pun Fransiska beraktivitas, dia selalu mengenakan perhiasan berbahan tembaga itu. Sudah puluhan tahun dia memakai anting-anting kesayangannya itu.
‘’Kadang-kadang diganti juga dengan anting-anting lain. Bahkan, aku biasa pakai hingga belasan pasang,’’ kata Fransiska saat ditemui di Pontianak, akhir Juli lalu.
Fransiska, seperti kebanyakan perempuan lain, mengenakan anting-anting sejak masih bayi. Proses penindikan untuk membuat lubang pada daun telinga juga tidak jauh berbeda, yakni menggunakan jarum.
Pada mulanya lubang tindikan itu hanya diberi hiasan berupa benang sebagai pengganti anting-anting. Setelah luka akibat tindikan sembuh, benang itu diganti dengan pintalan kayu gabus. Sekitar seminggu sekali pintalan kayu tersebut diganti dengan pintalan serupa yang berukuran lebih besar.
‘’Pintalan itu akan mengembang saat terkena air pada waktu mandi sehingga lubang untuk anting-anting semakin membesar,’’ jelas Dominikus Uyub, 36, tokoh pemuda Kayaan di Pontianak.
Setelah itu, barulah lubang yang mulai membesar tersebut digantungi sepasang anting-anting berbahan tembaga. Anting-anting yang dikenakan itu kemudian terus ditambah, baik berat maupun jumlahnya. Akibatnya, lubang pada daun telinga tersebut pun lama-kelamaan semakin membesar dan melar hingga menyentuh pundak.
Fransiska tidak ingat persis kapan ia menambah satu per satu perhiasan di telinganya itu. Sebab, proses penambahan tersebut berlangsung secara alamiah dan seiring perjalanan usia. ‘’Kalau sudah tidak terasa (berat), ya ditambah lagi. Begitu seterusnya,’’ ujar tetua adat Dayak Kayaan Mendalam ini.
Status sosial
Memanjangkan daun telinga merupakan salah satu tradisi masyarakat Dayak Kayaan di Pulau Kalimantan. Tradisi itu mereka sebut telingaan aruu’, yang artinya daun telinga panjang.
Di Kalimantan Barat, komunitas adat Dayak Kayaan menetap di sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu. Komunitas adat ini juga terdapat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta Sarawak di Malaysia.
Jenis anting-anting yang dikenakan pada tradisi telingaan aruu’ cukup beragam, bergantung pada bentuk serta cara pemakaian. Jenis anting-anting itu antara lain hisang semhaa dan hisang kavaat.
Hisang semhaa adalah sebutan untuk anting-anting yang dipasang di sekeliling lubang daun telinga, sedangkan hisang kavaat adalah anting-anting yang dikenakan pada lubang daun telinga dan ujung di setiap lingkarannya berselisih.
Semua jenis anting-anting tersebut terbuat dari bahan tembaga. Tembaga merupakan jenis bahan logam yang memiliki nilai tinggi bagi komunitas adat Dayak. Hampir sebagian besar perhiasan dan perlengkapan utama ritual adat mereka terbuat dari bahan tembaga.
Mengenakan anting-anting yang berat dan dalam jumlah banyak bagi masyarakat Kayaan dianggap sebagai perhiasan untuk mempercantik diri. Kebiasaan ini sekaligus melambangkan status sosial seseorang.
Hisang kavaat, misalnya, perhiasan ini umumnya dikenakan orang terpandang atau keturunan bangsawan. Begitu pula ukuran dan jumlah perhiasan. Semakin berat atau semakin banyak anting-anting yang dikenakan, menandakan orang itu berasal dari kalangan berada.
‘’Jika orang tidak berduit (miskin), mana mungkin dia mampu memiliki perhiasan seberat atau sebanyak itu. Begitu logikanya,’’ kata peneliti dari Institut Dayakologi Pontianak Sujarni Alloy.
Terancam punah
Telingaan aruu’ sebenarnya juga berlaku bagi kaum laki-laki. Namun, kebiasaan ini lebih sering dan kebanyakan dilakukan kalangan perempuan. Tradisi tersebut saat ini terancam punah karena ahli warisnya sudah sangat langka.
Di Mendalam, hanya Fransiska dan dua warga lainnya yang masih melestarikan tradisi telingaan aruu’. Keturunan atau generasi sesudah mereka tidak ada satu pun yang berdaun telinga panjang.
‘’Jadi tinggal tiga orang lagi di kampung kami yang melestarikan tradisi ini. Mereka semuanya sudah berusia lanjut,’’ ujar Uyub.
Tradisi memanjangkan daun telinga juga dikenal dalam budaya subetnik Dayak lainnya. Subetnik tersebut berasal dari kelompok rumpun Ibanik, Tamanik, dan Kayaanik. Misalnya, pada subetnik Dayak Mualang, yang masuk rumpun Ibanik.
Tradisi pemasangan anting-anting diawali dengan ritual adat nucuk penikng, yakni prosesi penindikan pada daun telinga bayi sebelum dipasang anting-anting. Namun, budaya memanjangkan daun telinga itu kini sudah tidak lagi dilakukan oleh komunitas adat yang bermukim di Kabupaten Sekadau tersebut.
‘’Nucuk penikng masih ada, tapi tradisi memanjangkan daun telinga sudah tidak ada lagi sejak 1940-an,’’ kata peneliti lainnya Elias Ngiuk.
Kondisi serupa juga terjadi di beberapa subetnik Dayak lainnya. Fakta ini merujuk pada survei yang dilakukan Sujarni, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, yang telah menyusuri beberapa wilayah komunitas adat. Sujarni meneliti keragaman bahasa dan subetnik Dayak di provinsi tersebut.
‘’Pelestari tradisi memanjangkan daun telinga di Kalimantan Barat saat ini diperkirakan tidak lebih dari 20 orang. Rata-rata mereka berusia di atas 50 tahun,’’ ungkap Sujarni yang juga tim penulis buku Mozaik Dayak di Kalimantan Barat, itu.
Arus modernisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ancaman utama kepunahan salah satu identitas budaya lokal tersebut. Selain itu, penyebaran agama turut menggerus pelestarian telingaan aruu’, kendati tidak semua ajaran agama melarangnya.
‘’Semua agama membawa konsep peradaban baru sehingga menimbulkan stigma terhadap mereka yang masih mempertahankan tradisi tersebut,’’ jelas Sujarni. LANJUT KE: Suku Kayaan sudah Ada Sejak 500 Tahun Silam
COMMENTS