Masyarakat
adat memunyai beragam tradisi dalam mengelola sumber daya alam. Tradisi Gawai
Batu salah satunya.
ARIES MUNANDAR
SEBUAH upacara adat dilakukan warga Desa Semunying
Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sebelum
membuka ladang pertanian. Ritual itu didahului dengan menabur beras kuning di sekeliling
lokasi.
Seekor ayam jago kemudian dikepit oleh seorang
warga dan dibawa mengitari tempat upacara. Setelah itu, baru seperangkat alat
pertanian terbuat dari batu yang telah dikumpulkan menjadi satu ditutup dengan
tikar rotan serta kain.
Kemudian, dilakukan prosesi menimang,
yakni gerakan mengitari seperangkat alat pertanian tersebut sambil menembangkan
mantra-mantra. Setelah itu, dilanjutkan dengan memandikan batu pengasah. Air
sisa pemandian tersebut selanjutnya digunakan untuk menyiram sebagian tanah
saat membuka lahan.
Seperangkat alat pertanian dan batu pengasah
kemudian dibiarkan bermalam di lokasi upacara dengan dijaga oleh sejumlah warga
dewasa. ‘’Batu pengasah itu harus ditunggui hingga semalam suntuk. Khawatir
kalau ada gangguan dan alamat (firasat) tidak baik,’’ kata Agustinus, 35 tahun,
warga Desa Semunying Jaya, Selasa, 13 September 2011.
Prosesi mendoakan seperangkat alat pertanian itu
merupakan rangkaian upacara yang dinamai Gawai Batu. Prosesi adat berlanjut
pada keesokan harinya dengan ritual manggul, yakni kunjungan ke lokasi calon lahan yang akan
dijadikan ladang.
Seorang tokoh adat kemudian menyiramkan sebotol air
sisa pemandian batu pengasah ke lokasi sambil melafalkan doa dan mantra. Ritual
itu diikuti dengan mempersembahkan sesajian berupa aneka penganan dari beras dan
ketan, serta tuak kepada roh yang diyakini sebagai penunggu lahan. Tujuannya
memohon restu dan perlindungan kepada penguasa alam gaib yang bermukim di
lokasi tersebut.
‘’Sesajian ini semacam alat tukar (transaksi)
karena tanah, menurut adat kami memiliki roh atau nyawa,’’ jelas Sekretaris
Desa Semunying Jaya Abulifah.
.
Ritual manggul
sekaligus sebagai
pemberitahuan bahwa lahan tersebut sudah ada yang memiliki dan siap untuk
diolah. Kepemilikan ditandai dengan pagar yang
mengelilingi sesajian sisa ritual manggul.
Gotong royong
Setelah seluruh rangkaian ritual tersebut berakhir, aktivitas
dilanjutkan dengan pembersihan dan penyiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan secara
gotong royong dan biasa memakan waktu hingga sepekan.
Lahan milik warga tertua harus didahulukan, disusul lahan milik
saudara kandungnya. Setelah itu, pengerjaan beralih ke lahan milik orang tertua
berikutnya, dan juga dilanjutkan
dengan lahan milik saudara kandung yang bersangkutan.
Lokasi lahan yang jauh dari permukiman membuat warga kerap
menginap di ladang. Para peladang beserta keluarga itu menempati pondok yang
dibangun di sekitar lokasi.
Pengerjaan pondok dilakukan saat memasuki masa tanam. ‘’Jika
musim berladang tiba, kampung jadi sepi karena sebagian besar warga tinggal di
pondok,’’ ujar Agustinus.
Keluarga peladang menetap di pondok hingga musim panen atau
sekitar empat sampai lima bulan. Mereka hanya sesekali turun ke desa untuk
melihat kondisi rumah dan ternak atau berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Kerja bersama saat membuka ladang ini terbawa hingga di kehidupan
sehari-hari sehingga
meningkatkan kerukunan dan solidaritas. Warga terbiasa
bergotong royong dan saling membantu ketika di antara mereka mengalami kedukaan
atau menggelar hajatan.
Solidaritas dan kebersamaan itu tidak hanya diwujudkan dalam
bentuk bantuan tenaga, tetapi juga pemikiran, pendanaan, dan sumbangan materi. Semua
dilakukan sesuai kemampuan masing-masing dan tanpa rasa perhitungan.
Ramah lingkungan
Gawai Batu merupakan salah satu kearifan lokal yang hingga kini
masih dipegang teguh oleh masyarakat di Desa Semunying Jaya. Tradisi itu sudah
berlangsung sejak leluhur mereka membuka wilayah desa tersebut, yakni sekitar
1940-an.
Upacara adat yang digelar setiap Juni atau saat memasuki musim
berladang itu juga sarat dengan prinsip dan konsep menjaga keseimbangan
ekosistem. Ini terlihat dari aturan atau tata cara yang mereka sepakati dalam
membuka lahan.
Aturan itu di antaranya, ladang tidak berlokasi di lahan
rawan atau yang bisamengakibatkan banjir dan tidak berkemiringan terjal. Selain
itu, pepohonan yang ditebang saat membuka lahan diganti dengan karet,
buah-buahan, atau tanaman produktif lainnya.
‘’Membuka dan mengolah ladang tidak bisa dilakukan secara
sembarangan atau semaunya,’’ jelas Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam, ketika
menyaksikan upacara adat Gawai Batu.
Menurut Adam, kendati masih menerapkan sistem ladang
berpindah, warga Semunying Jaya tidak meninggalkan begitu saja bekas ladang mereka.
Warga pasti akan datang lagi untuk mengolah dan merawatnya. Sebab, di sebagian
besar ladang yang mereka tinggalkan masih ada tanaman keras, seperti karet,
tanaman buah-buahan, dan lainnya.
‘’Bekas ladang itu tetap dirawat. Sebab, warga tahu
bersyukur dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan
terhadap alam,’’ jelasnya.
Desa Semunying Jaya terletak di zona inti atau lini
satu perbatasan Indonesia-Malaysia. Warga desa sebagian besar berasal dari
subetnik Dayak Iban. Selain berladang padi, mereka bermata pencaharian sebagai
penyadap karet dan pemungut hasil hutan.
Aktivitas perekonomian yang telah berlangsung
turun-temurun itu kini semakin terjepit. Lahan yang menjadi wilayah kelola
warga semakin menyempit akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.
‘’Kampung kami dahulu dikenal sebagai penghasil
rotan. Namun, usaha itu sudah lama berhenti karena hutan semua gundul,’’ ungkap
Kepala Desa Semunying Jaya Momonus beberapa waktu lalu.
COMMENTS