ARIES MUNANDAR
PANAS masih tersisa di terowongan setinggi 1,4
meter dan lebar 90 sentimeter itu. Kepulan asap sesekali menyusup di antara
susunan bata yang membentuk ruang sepanjang 25 meter.
“Baru tadi pagi kami mengeluarkan keramik setelah
dibakar selama 48 jam,” kata Tji Njung Muis, Manajer Pabrik Keramik Borneo
Lentera Prima, di Singkawang, Kalimantan Barat, pekan lalu.
Terowongan itu merupakan tempat pembakaran
keramik, atau biasa disebut tungku naga. Nama tersebut sesuai dengan bentuknya
yang memanjang, menyerupai naga. Suhu di tungku saat pembakaran bisa mencapai
1.500 derajat celsius.
Tungku naga merupakan salah satu ciri khas dalam
tradisi pembuatan keramik di Singkawang. Penggunaan tungku tidak ditemukan di
daerah lain, bahkan di Tiongkok sekalipun yang merupakan tanah leluhur para
perajin tembikar Singkawang.
Tungku yang menggunakan kayu bakar itu masih
dipertahankan karena mampu membakar keramik dalam jumlah besar dan merata. Ia
mampu membakar sekitar 1.500 keramik atau tembikar sekaligus.
Sentra kerajinan keramik di Singkawang masih
menggunakan berbagai peralatan tradisional selain tungku naga itu. Perajin
mempertahankan motif peninggalan bersejarah sebagai ornamen pada keramik. Di
antaranya, pola naga peninggalan Dinasti Ming, penguasa di Tiongkok pada abad
XIV. (BACA: Mengubah Tanah Lempung Menjadi Bernilai)
“Kami juga memproduksi tempayan bermotif naga
peninggalan Dinasti Tsung, yang hidup pada abad X-abad XII,” ujar Tji Njung
Muis alias Ajung.
Pengglasiran atau pewarnaan keramik juga
dilakukan secara tradisional. Larutan pewarna dibuat dari bahan alami, berupa
campuran tanah merah, kaolin, sekam, dan kulit kepah. Pewarnaan dilakukan
dengan menyiramkan larutan pewarna ke keramik.
Sentra kerajinan keramik tradisional di
Singkawang berpusat di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan. Daerah
ini berada di kawasan pintu masuk ke Singkawang dari arah Selatan, berjarak
sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Singkawang.
Pembuatan keramik merupakan usaha turun-temurun.
Awalnya usaha ini hanya pekerjaan sampingan dan berskala rumah tangga. Dalam
perkembangannya, pembuatan keramik menjadi industri berskala kecil dan
menengah.
“Kerajinan keramik di Sedau merupakan tradisi
pembuatan keramik tradisional yang masih tersisa di Asia, selain di Vietnam,”
kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Kota Singkawang Emy Erwanda.
Keramik dari Sedau berbentuk aneka guci atau
tempayan, bejana, peralatan rumah tangga, dan suvenir. Selain dipasarkan di
dalam negeri, produk diekspor ke
berbagai negara di Asia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.
Industri keramik di Sedau pertama kali dirintis
para imigran Tiongkok sekitar 1895. Industri ini juga tercatat sebagai pabrik
pertama keramik di Kalimantan Barat.
Mereka mengolah tanah lempung dan kaolin yang
banyak terdapat di daerah tersebut. “Pada mulanya hanya digunakan untuk
sendiri, sehingga produk mereka terbatas pada perabotan rumah tangga,” kata
antropolog Simon Takdir.
Kedatangan mereka tidak berkaitan dengan
penguasaan wilayah atau aktivitas politik lain. Para imigran pergi ke wilayah
lain untuk mengolah kekayaan alam.
Menurut Simon, dalam perjalanan mereka hanya
membawa perlengkapan seadanya. Saat tiba di Sedau, mereka membuat perabotan
rumah tangga dari bahan baku yang ada di sekitar.
“Mereka harus survive. Kalau tidak, mereka
tidak akan memiliki perabot rumah tangga,” ujar dosen Sekolah Tinggi Pastoral
(STP) Santo Agustinus, Singkawang, itu.
Bangkrut
Pamor keramik Singkawang cenderung terus meredup.
Satu per satu pabriknya bertumbangan.
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah Kota Singkawang mencatat, tahun lalu ada delapan sentra
kerajinan keramik tradisional di Singkawang. Saat ini, tersisa tiga pabrik yang
masih berproduksi.
“Selebihnya berhenti beroperasi atau hanya
memajang produk yang belum terjual. Selain itu, ada pula yang baru berproduksi
ketika menerima pesanan,” jelas Emy.
Sebagian besar industri keramik itu kemudian
beralih menjadi pabrik pembuatan bata. Dahulu usaha itu hanya sampingan karena
pembuatan keramik yang utama. Bata dibuat dari lapisan atas tanah lempung yang
tidak mengandung kaolin.
Sejumlah pemilik usaha keramik menuding kesulitan
bahan baku dan anomali cuaca menjadi salah satu penyebab tumbangnya pabrik
mereka. Tanah berkaolin kini semakin sulit ditemukan di Singkawang dan di
daerah sekitarnya akibat digali terus-menerus.
Anomali cuaca yang membuat hujan turun sepanjang
tahun juga mengakibatkan perajin sulit mengeringkan dan membakar keramik.
“Sejak Tahun Baru Imlek, Januari lalu, kami belum pernah membakar keramik lagi
karena sering hujan,” kata Chin Nen Pho, 52, mandor di Pabrik Keramik Sinar
Terang.
Kendati tidak membakar keramik, Sinar Terang
lebih beruntung daripada Semangat Baru, perusahaan yang menekuni usaha sama.
Pabrik milik Afan, 41, itu sudah gulung tikar lebih dari lima tahun lalu. “Bahan
bakunya semakin susah didapat. Kalaupun ada, kualitasnya kurang bagus,” aku
Afan.
Padahal, Semangat Baru tergolong pabrik yang
tahan banting. Usaha yang berdiri sejak masa kolonial Belanda itu dibeli
keluarga Afan pada 1980-an. Namun setelah 18 tahun memimpin Semangat Baru, Afan
akhirnya menutup usaha keramik tersebut karena terus merugi.
“Pekerjanya pun banyak yang berusia lanjut bahkan
ada yang meninggal dunia sehingga tidak produktif,” kenang Afan.
Hantaman gelombang di Singkawang makin membesar
dalam beberapa tahun terakhir akibat serbuan produk impor dari Tiongkok. Pasar
Pontianak dan Singkawang dipenuhi barang murah. Keramik asal Sedau pun kalah
bersaing.
“Pengaruh keramik China pasti ada. Produksi kami
agak berkurang dan sulit berkembang,” ungkap Pho dengan bahasa Indonesia
terbata-bata.
Jika pembuatan keramik gulung tikar, kerugian
tidak hanya dialami pekerja dan pemilik pabrik. Masyarakat adat Dayak pun
dipastikan kebingungan. Pasalnya, mereka pengguna tempayan untuk upacara adat,
yang biasanya dibeli dari perajin di Sedau.
“Tempayan adat peninggalan leluhur memang masih
ada, tapi jumlahnya terbatas. Tidak mungkin tempayan itu, misalnya, diganti
wadah dari plastik,” jelas Simon, pengajar sosiologi dan filsafat timur.
Sejumlah program revitalisasi dilakukan
Pemerintah Kota Singkawang. Salah satunya dengan menggulirkan program Satu
Desa, Satu Produk atau One Village, One Product (OVOP).
Program mengikutsertakan perajin pemula untuk
regenerasi. Mereka akan dilatih tentang teknik pembuatan keramik secara modern.
Sudah ada 20 perajin yang bakal mengikuti pelatihan. “Tradisinya tetap
dilestarikan, tapi dengan sentuhan modernisasi sehingga produk yang dihasilkan
sesuai permintaan pasar,” kata Emy Erwanda.
Kekurangan usaha keramik di Sedau juga dipengaruhi
pola manajemen yang masih bersifat kekeluargaan dan teknis penggarapan keramik
yang masih tradisional.
Bandingkan dengan Keramik asal Tiongkok masa
kini, yang merupakan produk pabrikan dan dibuat dengan peralatan modern.
Akibatnya, tekstur serta permukaan keramik lebih halus. Apalagi, produk itu
bisa dijual lebih murah daripada keramik Singkawang.
“Keramik Singkawang buatannya kasar dan warnanya
tidak cerah,” kata Noviantini, 24, penjaga toko keramik di Pontianak.
Keramik impor asal Tiongkok masuk ke Kalimantan
Barat melalui Serawak, Malaysia. Barang dari Malaysia pun ikut masuk. “Keramik
Tiongkok dan Malaysia dibeli langsung dari Serawak. Sebulan ada seratusan
keramik yang kami beli,” ungkap Noviantini lagi.
Kebanyakan keramik Tiongkok di Pontianak dan
Singkawang bermotif tradisional dan lebih halus. Keramik Malaysia sebagian
besar bermotif kontemporer. Bentuk keduanya didominasi pot bunga.
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Tanjungpura
Eddy Suratman mengungkapkan pedagang memanfaatkan fasilitas bebas berbelanja ke
Serawak maksimal 600 ringgit Malaysia atau sekitar Rp1,7 juta per orang per
bulan, untuk warga di perbatasan Indonesia-Malaysia. “Ada beberapa warga
bertindak sebagai penampung,” ungkapnya. LANJUT KE: Siap Beradu dengan Produk Impor
COMMENTS