Tradisi sarat
nilai luhur ini mulai ditinggal pengikutnya. Termasuk, di komunitas adat mereka
sendiri.
IRINGAN mobil hias berhenti di mulut gang. Rentak tetabuhan dan
tarian menyambut kedatangan rombongan istimewa itu. Sejurus kemudian sepasang
muda-mudi menghampiri mobil dan menggendong dua di antara anggota rombongan.
Rombongan tamu dan para penjemput lantas menyusuri jalan sepanjang
50 meter menuju lokasi acara. Senyum semringah menghiasi bibir Felix Belawing
dan Priska Merry Ansilla, yang digendong penjemput tersebut.
Felix dan Merry adalah sepasang pengantin yang hendak menjalani
prosesi adat perkawinan Dayak Kayaan. Acara ini berlangsung di kediaman orangtua Felix di Jalan
Perintis, Pontianak, Kalimantan Barat, awal Juli 2012.
“Pengantin digendong agar tidak menginjak berbagai kotoran sehingga
mereka tetap bersih saat melaksanakan adat perkawinan,” jelas tokoh masyarakat
Kayaan Kalimantan Barat, Tus Oevaang Mering.
Merry sebelumnya dijemput Felix beserta rombongan dari kediamannya
di Kompleks Perumnas II Pontianak. Prosesi menyauti
digelar saat melepas kepergian Merry menuju kediaman mempelai laki-laki yang
berjarak sekitar 15 kilometer.
Menyauti merupakan ritual tolak bala dalam adat Dayak Tamambalo. Doa dan
mantera dimunajatkan agar semua rencana berjalan lancar. “Supaya keduanya (Felix
dan Merry) juga hidup rukun dan harmonis serta memiliki keturunan,” ujar tokoh adat
Tamambalo, Rafael Salan.
Rangkaian prosesi adat Kayaan pun digelar setiba pengantin di
tempat acara. Prosesi diawali dengan mela aran, yakni ritual penganugerahan nama Kayaan bagi mempelai perempuan.
Ping, begitu nama baru yang diberikan keluarga besar Kayaan untuk Merry.
“Pasangan Belawing dalam legenda Kayaan ialah Ping. Jadi, penamaan
pengantin perempuan dipadankan dengan pengantin laki-laki,” jelas Albert Rufinus,
orangtua Felix.
Pemberian nama baru itu menandakan perempuan Dayak Tamambalo
tersebut resmi menjadi keluarga besar Kayaan. Pengakuan itu kembali dikukuhkan
melalui penyematan kalung dan gelang manik-manik oleh ibu mempelai lelaki.
Perhiasan tersebut disematkan setelah prosesi penguatan semangat.
Pengantin pria dalam penguatan semangat menginjak sebilah mandau
sebagai simbol kekuatan dan semangat menyala. Kedua mempelai selanjutnya
beriringan menuju pelaminan di ruang utama rumah.
Sebuah tawak atau gong diinjak mempelai perempuan saat melintasi pintu utama.
Kedua mempelai didampingi dua pasangan pengiring pengantin selama di pelaminan.
“Menginjak Mandau dan tawak dimaknai sebagai kesiapan menyongsong kehidupan baru,” kata
Dominikus Uyub, pembawa acara.
Bekal keluarga
Prosesi utama adat perkawinan Kayaan dimulai setelah pengantin
bersama pengiring menempati pelaminan. Prosesi itu diawali pemeriksaan
kelengkapan syarat adat sebagai mahar oleh pihak keluarga mempelai perempuan.
Mahar yang disiapkan pihak laki-laki itu antara lain gong dan peralatan
dari tembaga, tempayan keramik, serta perhiasan dari manik-manik. Kain tenun,
tombak, dan mandau juga me lengkapi persyaratan adat tersebut. “Barang-barang
ini bisa menjadi bekal setelah mereka berkeluarga atau berumah tangga,” ujar
Tus.
Perwakilan mempelai perempuan diminta memeriksa kondisi dan
kelengkapan mahar. Setelah itu, mahar dibawa mengitari lokasi acara sebanyak 16
putaran untuk diperlihatkan kepada undangan. Prosesi itu diakhiri sebuah tarian oleh rombongan
pembawa mahar.
Prosesi berikutnya ialah pesak
kanan atau pejii’ umaan. Dayung ayak menyuapkan sejumput nasi beserta ikan salai seluang
kepada kedua pengantin secara bergantian. Makanan tersebut diaduk dengan
untaian manik di piring yang terbuat dari kayu tapang. Dayung ayak ialah
perempuan yang menjadi pemimpin utama ritual adat Kayaan.
“Perkawinan merupakan ujian hidup dan kehidupan perkawinan itu
keras, sekeras manik,” tambah Uyub menjelaskan makna prosesi tersebut.
Pejii’ umaan dilanjutkan
dengan mirii’ pejii’. Kedua pengantin beserta pengiring berbaris terlentang di depan
pelaminan. Seluruh tubuh mereka kemudian diselubungi sehelai kain berwarna
biru, yang diistilahkan sebagai kain langit.
Mirii’ pejii’ melambangkan
kebersamaan dan kesetiaan sehidup-semati. Selain itu, simbolisasi dari
aktivitas hubungan suami-istri untuk memperoleh keturunan.
Mirii’ pejii’ diteruskan
dengan mela hawa’, yakni prosesi penyucian diri. Dayung ayak menyapukan seikat daun hanjuang
(Dracaena sp) yang dilumasi darah babi ke lengan kedua pengantin.
Te alaa’ pako’ menjadi penutup
rangkaian adat perkawinan Kayaan. Pengantin pria didampingi pasangan dan
pengiring memetik pakis di luar pekarangan rumah. Pakis selanjutnya dicampur
sejumput beras dan dibungkus daun pisang untuk dikukus di bara api. Masakan itu
dicicipi kedua pengantin dengan saling menyuapi secara bergantian.
“Te alaa’ pako’ melambangkan kewajiban suami mencari nafkah untuk keluarga,” ungkap Tus.
Sebelum te alaa’ pako’, orang yang dituakan dari keluarga besar masing-masing
menyampaikan nasihat perkawinan. Nasihat atau patavaraa’
ini merupakan pengukuhan terhadap perkawinan
kedua mempelai.
Tradisi langka
Adat perkawinan pada komunitas Kayaan sarat makna dan nilai luhur.
Pesan moral itu bukan hanya menyiratkan harmonisasi kehidupan antarmanusia,
melainkan juga dengan sesama makhluk lain.
Tus menuturkan rangkaian adat perkawinan ini aslinya dilaksanakan
selama delapan hari berturut-turut. Satu hari untuk setiap prosesi.
Pesta atau resepsi perkawinan juga seharusnya pada malam hari. Itu
untuk menghindari bebunyian atau suara kijang dan rusa. Suara satwa hutan tersebut
yang terdengar saat resepsi diyakini sebagai firasat atau pertanda tidak baik.
Adat perkawinan Kayaan kini mulai ditinggalkan para penganutnya.
Tradisi itu sudah jarang digelar secara lengkap, termasuk di komunitas adat
Kayaan di Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
“Kami ingin melestarikan dan mengapresiasi nilai-nilai sosial,
kultural, dan ritual dalam adat perkawinan ini,” kata Rufinus mengungkap alasan pergelaran adat perkawinan tersebut.
Menurut Uyub, warga Kayaan biasa hanya menggelar dua prosesi utama,
yakni pejii’ umaan dan mirii’ pejii’. Itu lantaran prosesi lengkap tradisi ini dinilai terlalu rumit
dan memakan waktu.
“Menurut saya penyebabnya ialah faktor leadership. Pemimpin dan
pengurus adat sekarang banyak tidak tahu prosesi ini secara lengkap,” tegas Tus.
COMMENTS