SAPRAHAN berakar pada budaya Melayu. Tradisi itu juga dijumpai di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan. Saprahan berasal dari kata ‘saf’, yang berarti barisan. Namun, ada pula yang mengartikannya sebagai berhampar, yang merujuk kepada cara penyajian makanan. (baca: Mengurai Makna di Balik Kenduri)
Ciri umum dari perjamuan tersebut ialah makan bersama dengan berlesehan di atas tikar atau permadani. Hidangannya disajikan langsung di tengah undangan. Tradisi itu digelar pada saat hajatan besar.
“Di kampung saya (Palembang) juga sering digelar makan bersama seperti ini walaupun namanya bukan saprahan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa saat saprahan di Sambas, beberapa waktu lalu.
Di Kalbar, saprahan sudah jarang dijumpai, kecuali di Sambas dan daerah di sekitarnya. Perayaan atau hajatan warga di sana bahkan selalu diidentikkan dengan tradisi tersebut. Hajatan terasa belum lengkap tanpa disertai makan bersama ala saprahan, begitu anggapan warga.
Menurut budayawan Chairil Effendi, saprahan bukan sekadar acara makan bersama. Banyak filosofi dan ajaran sosial selain religi yang terkandung dalam warisan budaya itu, di antaranya memupuk solidaritas, kekompakan, dan tenggang rasa antarwarga. Itu berguna untuk memupuk semangat yang mulai luntur.
“Tradisi ini menjaga nilai-nilai asli masyarakat kita yang guyub, suka menolong, dan bergotong royong,” jelas Chairil yang juga Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalbar.
Saprahan juga mengajari warga cara mengorganisasi kegiatan. Itu tecermin dari penggarapan saprahan yang melibatkan banyak orang, panitia, dan undangan.
Semangat dalam tradisi saprahan sangat relevan dengan konteks kekinian. Solidaritas warga bisa menjadi modal sosial dalam membangun daerah.
“Spirit yang berlandaskan saling percaya ini bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” tukas Chairil, yang juga mantan Rektor Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Saprahan juga menyiratkan pesan edukasi tentang pentingnya pendidikan. Para haji dalam pergaulan masyarakat di Sambas dianggap berilmu agama tinggi sehingga dihormati dan disegani.
Namun di sisi lain, saprahan mulai tergerus oleh modernisasi. Banyak warga mulai beralih ke prasmanan saat menyajikan hidangan di resepsi atau hajatan. Perangkat saji dan peralatan makan pada prasmanan lebih sedikit dan praktis jika dibandingkan dengan saprahan. Ditambah lagi, biaya saprahan lebih besar.
“Paling tidak harus menyiapkan 200 hingga 400 hidangan untuk sekali saprah. Belum lagi konsumsi untuk panitia,” kata Ahnaf Umar, 61,warga Sambas.
Warga yang mempertahankan tradisi itu pun mulai berkompromi dengan kondisi saat ini. Mereka memangkas tata cara atau prosesi saprahan sehingga lebih ringkas. Semisal, menggantikan asrakal dengan doa rasul atau doa selamat.
Tarup yang semula menggunakan kayu dan terpal juga diganti dengan tenda sewaan berpenopang dan berangka besi. Penyiapan tenda sebagai lokasi saprahan tidak lagi melibatkan orang banyak karena dikerjakan pihak yang menyewakan. Begitu pula papan sebagai lantai tarup hingga peralatan makan disewa dari penyedia jasa.
“Makanan pun ada yang dipesan dari katering terutama yang di kota,” ujar Darmadi Amin, 57, warga lainnya.
Berbagai perubahan memang sulit dihindari karena tuntutan zaman. Namun, kondisi itu tidak mengurangi makna saprahan. Sebaliknya, unsur kebudayaan modern tersebut memperkaya dan memberikan corak tersendiri.
Warga pun tetap antusias dan sebisa mungkin hadir saat kaum kerabat mereka mengundang ke saprahan. “Kalau jarang hadir, biasanya warga lain juga enggan datang saat yang bersangkutan mengadakan saprahan,” pungkas budayawan Chairil Effendi. (Aries Munandar)
COMMENTS