BENTUK topeng di Kampung Loncek, Desa Telukbakung, Kecamatan Sungaiambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), kebanyakan menyerupai hewan. Ada topeng ganye, yang menyerupai kepala rusa, topeng asu’ berwujud kepala anjing, dan topeng kara’ yang menyerupai wajah kera. Ada pula topeng bela’ yang berwajah seram, dan topeng buta alias raksasa.
Topeng buta merupakan raja dari para topeng. Ia hanya boleh ditampilkan pada saat babalak atau prosesi khitanan tradisional. Babalak menjadi satu di antara tradisi utama dalam adat Dayak Salako. (BACA:Topeng Keramat di Ambang Tamat)
“Babalak sebagai pertanda seorang anak lelaki sudah beranjak dewasa. Selain itu, simbol pembersihan dari darah kotor,” kata Laurensius Edi, tokoh pemuda Loncek.
Topeng buta dihadirkan dalam babalak untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggu acara. Topeng ini dicirikan dengan kepala besar, telinga lebar, dan mata melotot. Kehadiran topeng buta selalu didampingi topeng ganye dan topeng asu’.
Topeng ganye merupakan wakil dari topeng buta. Keberadaannya untuk menghibur sekaligus memberi kekuatan kepada anak yang dikhitan. Adapun topeng asu’ merupakan pengawal topeng buta.
Topeng buta, ganye, dan asu’ mengenakan pakaian yang terbuat dari ijuk pohon enau. Ketiganya merupakan topeng utama atau inti, yang selalu tampil bersamaan di babalak. Para pemainnya harus lelaki yang sudah menikah.
Mulai ditinggalkan
Di luar topeng utama, masih terdapat topeng lain, di antaranya kara’ dan bela’. Kedua topeng ini bebas dimainkan di berbagai kesempatan dan acara. Namun, semua topeng tetap harus diritual saat sebelum mau pun sesudah pementasan.
“Ayam yang disajikan untuk topeng bela’ harus yang sudah dimasak (direbus), sedangkan topeng lain disajikan ayam hidup,” jelas Edi.
Pakaian topeng kara’ terbuat dari ijuk, sedangkan bela’ dari ranting dan tetumbuhan liar. Penampilan topeng bela’ selalu didampingi topeng bini yang dianggap jelmaan bidadari dari kahyangan. Topeng bini dimainkan lelaki dewasa yang mengenakan pakaian perempuan.
Semua jenis topeng terbuat dari kayu jelutung atau pelaik. Pembuatannya tidak boleh sembarangan karena harus melalui ritual tertentu.
Perajin topeng di Loncek kini semakin langka karena banyak yang telah meninggal dunia. Keberadaan tradisi ini pun terancam punah.
Topeng inti sudah jarang ditampilkan seiring ditinggalkannya tradisi babalak. Warga lebih memilih berkhitan secara medis karena dianggap lebih higienis dan praktis.
Urbanisasi dan gempuran kesenian modern juga turut menggerus tradisi ini. “Seingat saya, babalak di laksanakan terakhir sekitar 1990,” pungkas Edi. (Aries Munandar)
COMMENTS