“DIA bisa?” tanya seorang kolega setengah berbisik kepada Lo Thai Sua, 64. Pandangannya tertuju kepada perempuan berjilbab yang bersiap memainkan pipa. Namun, keheranan itu berangsur luluh seiring irama merdu mengalun dari alat musik tradisional berdawai empat tersebut.
“Ini (sudah menjadi) musik nasional. Siapa saja boleh dan bisa memainkannya. Tidak harus orang Tionghoa,” jelas Thai Sua. Sang kolega dari Malaysia itu pun tersenyum mafhum.
Ade Lestari Dewi, 35, menjadi pusat perhatian dalam jamuan makan malam marga Lo sedunia di Pontianak, pertengahan Maret lalu. Busana muslim yang dikenakan membuat dia terlihat berbeda dengan pemusik lain. Ade bersama kelompok musik Yayasan Halim diundang untuk menghibur tamu dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura tersebut.
Ini bukan kejadian pertama. Pertanyaan serupa juga kerap dilontarkan seseorang saat pertama kali melihat Ade bermusik. Mereka pikir aliran musik tersebut hanya diminati dan dikuasai oleh kaum Tionghoa. Ternyata anggapan itu salah!
Ade menekuni musik oriental sejak sembilan tahun lalu. Itu bermula saat dia menyaksikan penampilan kelompok musik Yayasan Halim di sebuah pusat perbelanjaan modern di Pontianak. Warga Gang Agung, Pontianak Barat, itu langsung tertarik dan berniat mempelajari musik tradisional tersebut. (baca: Simfoni Bersemi Menyemai Generasi)
“Ketika mengutarakan niat itu, saya langsung dipanggil laoshi (guru musik) untuk datang saat mereka latihan,” kata Ade.
Kendati mendapat lampu hijau, sarjana sastra Jepang itu sempat ragu. Saat hendak latihan pertama kali, Ade tidak langsung menuju Yayasan Halim di Jl Gajah Mada. Dia hanya melewati tempat latihan itu dan berputar hingga sejauh 5 kilometer.
Di sepanjang perjalanan, Ade sempat ingin mengurungkan niatnya. Namun, dia akhirnya tetap menyinggahi Yayasan Halim, dan berlatih musik. Pelatih dan anggota kelompok musik itu pun menyambut kehadiran Ade dengan tangan terbuka. Dia kemudian dipercaya memegang yueqin, alat musik petik mirip sitar berukuran kecil.
Dicibir
Belum genap sebulan berlatih, Ade langsung ikut tampil di sebuah pergelaran di Pontianak. Itu terbilang nekat karena untuk menguasai teknik dasar musik Tionghoa paling tidak dibutuhkan tiga bulan latihan.
Ade pun gemetaran dan berkeringat dingin selama pergelaran karena grogi. Dia belum banyak menguasai lagu yang dipentaskan kelompoknya. “Saya baru hafal satu lagu, yakni Tian Mi Mi. Lagu-lagu berikutnya, saya cuma ikut-ikut pemain lain,” kenangnya sembari tersenyum.
Jalan yang dilalui Ade selama menekuni musik ini tidak selalu mulus. Dia pernah dicibir oleh sejumlah orang karena musik tersebut dianggap dapat memengaruhi akidah dan keyakinan. Beberapa di antara mereka bahkan menuding putri Mawardi Zandyoes ini sesat dan telah keluar dari ajaran Islam. Ade bergeming. Apalagi, pihak keluarga mendukung penuh aktivitasnya.
Perempuan lajang itu menganggap musik tradisional Tionghoa semata-mata kesenian dan bukan bagian dari ritual agama tertentu. Itu sebabnya, dia pun tidak sungkan untuk ikut bermusik di tempat warga Tionghoa yang meninggal dunia. (baca: Menghidupkan Musik Kematian)
“Bapak saya bilang, itu sama dengan melayat. Di dalam Islam, tidak ada larangan melayat orang yang berbeda keyakinan,” kata Ade, yang kini memainkan pipa di kelompok musiknya.
Dosen Akademi Bahasa Asing Pontianak itu tidak sendirian. Di Yayasan Halim setidaknya ada empat pemusik yang berjilbab. Mereka ialah Nanda, Diana, Kori, dan Nana. Para perempuan belia itu tertarik menekuni musik untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang budaya Tiongkok.
“Kami mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Tanjungpura. Itu mungkin yang membuat kami tertarik mempelajari musik ini,” jelas Nanda, 21, yang juga berlatih di kelompok musik Yayasan Kuning Agung.
Nanda dan ketiga rekannya tidak pernah mengalami kejadian seperti Ade, yang dicibir dan dituding sesat. Sebaliknya, Nanda justru berkesempatan menjejakkan kaki di Tiongkok berkat kepiawaiannya menyanyikan lagu Mandarin. Dia mewakili Indonesia dalam Chinese Bridge Competition 2013 di Beijing. (Aries Munandar)
COMMENTS