UBUR-UBUR yang dipanen dan diolah warga di Desa Temajuk ialah dari spesies Lobonemoides robustus atau jenis cendol. Disebut demikian karena pada punggung kubahnya terdapat lidah yang menyerupai cendol. (baca: Ubur-Ubur Bersengat Rupiah)
Ubur-ubur jenis itu juga dikenal dengan nama dagang white type jellyfish atau ubur-ubur putih. “Ada juga yang lain, seperti jenis helm, tapi kurang banyak dan tidak laku,” aku nelayan ubur-ubur di Temajuk, Jais, 40, pertengahan April lalu.
White type jellyfish merupakan jenis komersial berkualitas ekspor. Jenis itu dikonsumsi karena mengandung protein tinggi dan rendah kolesterol.
Pemanfaatan ubur-ubur konsumsi untuk tujuan ekspor juga dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Bangka Belitung, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Tim Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut ada 10 jenis ubur-ubur konsumsi di Indonesia. Namun, pemanfaatannya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. ‘Jauh tertinggal dari Vietnam, yang produksinya hanya 800 ribu hingga 1,2 juta ekor setahun’, tulis Mulyadi dan kawan-kawan dalam sebuah laporan ilmiah pada 2012.
Musim ubur-ubur di Temajuk bertepatan dengan peralihan musim hujan ke kemarau. Air sungai yang surut dan mengalir ke laut membawa ikan kecil, zooplankton, dan jasad renik lainnya yang menjadi pakan ubur-ubur.
Populasi mereka semakin membeludak karena berkurangnya predator alami seperti penyu. “Ubur-ubur menjadi pakan bagi penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Jenis itu sudah langka di Temajuk,” kata Peneliti Kelautan dari WWF Indonesia Dwi Suprapti saat dihubungi pada akhir April lalu.
Peneliti zoologi dari LIPI Conni M Sidabalok menyebut populasi ubur-ubur juga dipengaruhi tingkat pencemaran air. Di Teluk Masan, Korea Selatan, misalnya, populasi ubur-ubur jenis Aurelia aurita justru bertambah seiring dengan meningkatnya polusi di perairan tersebut.
“Ubur-ubur memiliki daya tahan terhadap kondisi lingkungan yang tercemar,” kata Conny, seperti dikutip dari jurnal Fauna Indonesia edisi Juni 2008.
Sementara itu, Dwi menganggap musim uburubur di Temajuk sebagai ledakan populasi akibat ketimpangan rantai makanan. Oleh karena itu, pemanfaatan ubur-ubur oleh warga setempat akan mengembalikan keseimbangan ekosistem tersebut. “Sepanjang tidak dieksploitasi berlebihan,” tukas Dwi, yang juga berwilayah kerja di Temajuk.
Selain dikonsumsi, ubur-ubur bisa digunakan untuk bahan kosmetika bahkan material bangunan. Kandungan magnesium oksida pada ubur-ubur dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan keramik tahan api. Kebutuhan magnesium oksida selama ini kebanyakan diambil dari pertambangan magnesit.
Hal itu seperti dikatakan Mohammad Syukur saat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Fisika Material Universitas Sumatra Utara pada 2008 lalu. Menurutnya, ubur-ubur berpotensi menjadi sumber magnesium oksida yang ramah lingkungan karena bisa diperbarui. Namun, hal itu masih memerlukan riset lanjutan untuk budi dayanya. (Aries Munandar) lanjut ke: Perempuan Penatu Musiman di Pesisir Natuna
lihat juga di sini
lihat juga di sini
COMMENTS