Masyarakat adat suku Dayak Jalai masih menjaga tradisi gotong royong. Mereka mewarisi lewat sahut-sahutan saat menanam padi secara tradisional di Kalimantan Barat.
ARIES MUNANDAR
SUASANA di pinggir hutan bawas itu terasa hiruk-pikuk. Para lelaki dan perempuan bercengkerama sembari mencicipi kudapan. Mereka melepas lelah setelah menyiangi sepetak ladang hutan sekunder, di lahan berawa-rawa.
Mereka membentuk dua barisan. Barisan pertama terdiri dari lelaki dengan beralatkan tongkat kayu berujung runcing. Barisan kedua terdiri dari perempuan berselempangkan bakul. Para lelaki kemudian menghunjamkan tongkat ke tanah untuk membuat lubang tanam. Para perempuan melanjutkan dengan memasukkan benih padi dari bakul ke lubang tanam.
Kedua aktivitas tersebut dilakukan berulang hingga ladang dipenuhi benih padi. Tidak sampai sejam, penugalan (penanaman) pun rampung. Satu per satu pekerja berkemas. Mereka meninggalkan ladang saat matahari mulai membubung tinggi di ubun-ubun.
Begitu pula pemilik ladang, Herlianus Toko, tampak sibuk membereskan peralatan kerja dan perangkat makan. “Ini ladang baru, luasnya tidak sampai 1 hektare. Mudah-mudahan hasilnya bagus,” ujarnya, seusai aktivitas menanam bibit padi, dua pekan lalu.
Seusai mandi dan membersihkan diri di rumah masing-masing, para peladang berkumpul di rumah Herlianus untuk bersantap siang. Hiruk-pikuk pun kembali mewarnai keakraban mereka. Jamuan siang dengan menu nasi putih beserta sayur campuran nangka dan ayam. Jamuan itu sekaligus menutupi aktivitas perladangan di hari itu.
Para peladang tersebut merupakan tetangga Herlianus di Desa Pasir Mayang, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka sebelumnya juga membantu Herlianus saat membuka dan membersihkan lahan yang sama. Pun sebaliknya, Herlianus akan ikut melakukan hal serupa kepada tetangganya bila melakukan tanam padi di ladang.
Gotong-royong saat berladang masih membudaya di komunitas Dayak Jalai tersebut. Mereka bekerja sukarela tanpa diganjar upah sepeser pun. Pemilik ladang cukup menyediakan bahan dan peralatan penanaman padi serta konsumsi untuk pekerja. “Makan siang itu sebagai ucapan terima kasih. (Hidangan) seadanya, tidak harus mewah,” jelas Herlianus.
Kerja keroyokan saat berladang tidak semata mampu menekan biaya produksi. Tradisi itu juga merekatkan rasa persaudaraan dan solidaritas warga. Kegiatan tersebut kerap pula diselingi diskusi ringan tentang pertanian dan beragam persoalan.
Berbalas
Tradisi bergotong royong itu disebut bejuruq. Warga menggelarnya secara bergilir di ladang masing-masing. Jadwalnya disesuaikan dengan kesiapan lahan yang akan ditanami padi. Pergiliran itu juga untuk memastikan bahwa bejuruq bisa melibatkan banyak warga.
Pemilik yang ladangnya sudah selesai digarap harus bejuruq di ladang warga lain. Begitu pula yang hendak bejuruq harus mengikuti kegiatan serupa sebelumnya. Mereka saling membantu dan berbalas jasa. Tradisi untuk membalas bejuruq itu disebut bebarai (bebayar; membayar).
“Tradisi ini disebut juga bejuruq-bebarai yang dimaknai sebagai tolong-menolong,” jelas Dalman, Kepala Dusun Laman Baru, Desa Pasir Mayang.
Lelaki 30 tahun itu juga bergabung bersama sekitar 20 warga yang bejuruq-bebarai di ladang Herlianus. Dalman sendiri sudah menggelar bejuruq di ladangnya sehingga dia pun bebarai di ladang warga lain. Bejuruq-bebarai juga dilakukan pada saat panen, sekitar empat bulan kemudian.
Warga biasa mengutus lebih dari satu anggota keluarga mereka untuk bejuruq-bebarai. Tradisi tersebut memang kerap melibatkan peserta dalam jumlah lebih besar untuk lahan yang luas. Walaupun tidak ada sanksi, warga tidak pernah abai. Apalagi, yang ladangnya sudah di-bejuruq, sedapat mungkin membalasnya dengan bebarai.
“Kalau orangtuanya tidak sempat, bisa mengutus anak atau anggota keluarga lain. Yang penting ada perwakilan mereka,” ujar Dalman.
Selain bejuruq-bebarai, tradisi perladangan di Dayak Jalai juga disertai berbagai laku spiritual. Aktivitas perladangan dimulai dengan ritual menyambut permulaan atau menyapat tahun.
Dalam tradisi Dayak Jalai, musim perladangan menjadi penanda pergantian tahun. Menyapat tahun dilanjutkan dengan menyandam, yakni ritual memohon izin kepada penghuni alam untuk menggarap lahan.
Jika suara hewan tersebut terdengar saat hendak menyandam, pembukaan lahan dibatalkan. Para peladang percaya bahwa lahan itu dianggap tidak cocok dijadikan ladang. Namun, jika pertanda itu muncul setelah pembersihan lahan, perladangan tetap dilanjutkan setelah peladang menggelar sesilih sebagai ritual penebusan.
Ritual adat kembali digelar saat menurunkan benih padi dari lumbung ke ladang. Ritual juga dilakukan saat penanggulangan hama dan penyakit tanaman, panen, dan penyimpanan hasil panen ke lumbung padi. Musim perladangan diakhiri dengan bebantan alias syukuran.
Warga Dayak Jalai menerapkan pola tebang, tebas, dan bakar saat membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran dilakukan dengan aturan dan pengawasan ketat. Cara itu diterapkan agar api tidak membesar dan merambah ke hutan atau lahan di sekitarnya.
Sebelum membakar, mereka terlebih dahulu membuat sekat bakar dan parit di sekeliling lahan. Pembakaran juga harus memerhatikan ketersediaan sumber air dan arah angin di lokasi. Setelah dibakar, lahan terus dikontrol untuk mengantisipasi api muncul kembali dari sisa atau bara pembakaran.
Pembakaran lahan juga harus melibatkan banyak orang sebagai pengendali api. “Saat membakar lahan, saya ikutkan hingga 12 orang. Kalau kurang dari itu, tak mampu (mengontrol api),” tambah Kepala Dusun Pasir Mayang, Desa Pasir Mayang, Petrus Pingsut.
Bejuruq-bebarai merupakan salah satu warisan
leluhur sejak
ratusan tahun lampau. Tradisi ini sekaligus simbol
kesetaraan dan kebersamaan dalam tatanan hidup masyarakat Dayak Jalai.
COMMENTS