ARIES MUNANDAR
ULAH seorang pengunjung membuat Adi Ng meradang. Perbuatan itu dianggapnya merusak keasrian lingkungan sekitar. Adi pun menegur pengunjung yang tepergok memetik beberapa kuntum bunga dari pekarangan tersebut. “Seharusnya situ membawa bunga (tanaman) ke sini, bukan malah memetiknya,” kata Adi.
Lelaki 45 tahun itu selalu bersikap tegas terhadap pengunjung yang melanggar aturan. Jika tidak begitu, bakal banyak tanaman rusak akibat tangan jahil. Apalagi, sebagian besar tanaman ialah sumbangan dari para penderma. Dia tidak ingin mengecewakan amanah tersebut.
Adi memang dipercaya menjaga dan merawat kawasan berhawa sejuk ini. Wilayah penjagaannya meliputi kompleks kuil dan lokasi di sekitarnya. Itu sebabnya, dia marah saat ada pengunjung merusak tanaman di sekitar kuil. “Kecuali untuk pengobatan, itu lain cerita,” ujarnya.
Adi tidak tahu persis jenis dan jumlah tanaman yang tumbuh di sekitar kuil, tapi beberapa di antaranya diyakini sebagai tanaman obat tradisional. Tanaman itu ada yang tumbuh sebelum kuil berdiri, ada pula sumbangan para pengunjung. Mereka membayar niat atas hajatan yang terkabul setelah berdoa di kuil.
Wihara Dharma Suci Mulia begitu nama resminya. Namun, kompleks kuil tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng Surga-Neraka. Lokasi peribadatan ini berdiri di punggung Bukit Pasi, Singkawang, Kalimantan Barat.
Julukan Kelenteng Surga-Neraka disematkan karena kuil ini menggambarkan secara lengkap kehidupan manusia di akhirat berdasarkan ajaran Taoisme. Ada keindahan surga bagi manusia berbakti. Ada pula gambaran siksa neraka untuk para pendosa. Penghitungan amal dan dosa juga diilustrasikan melalui persidangan.
“Sidang para dewa akan memutuskan, seseorang langsung masuk surga atau menjalani siksa neraka dahulu,” kata Hon Hendri, 66, Ketua Yayasan Dharma Suci Mulia yang mengelola kelenteng.
Kompleks kelenteng ini terdiri atas tujuh bangunan kuil yang melambangkan surga di langit ketujuh. Begitu pula letak kuil yang menyebar dan bertingkat menjadi simbol tangga menuju nirwana.
Kuil pertama tidak jauh dari jalan masuk utama. Kuil ini dijuluki sebagai raja atau pemimpin kuil lain. Warga pun melakukan pemujaan sebagai penghormatan dan memohon izin kepada dewa dan leluhur sebelum menziarahi kuil lain.
Di bagian atas sebelah barat terdapat kuil kedua yang memampang gambaran surga dan neraka. Kuil ini terhubung langsung dengan kuil ketiga yang berada di samping kiri. Kuil ketiga untuk memuja arwah pemimpin dan pahlawan yang disimbolkan sebagai raja duniawi.
Ritual lempar koin
Perjalanan berikutnya berlanjut dengan menuruni tangga. Di sini, ada tiga kuil berderet dengan luas, corak, dan bentuk bangunan seragam. Sepasang patung singa menghiasi bagian depan bangunan tiga pintu ini. Uniknya, urutan bangunan dimulai dari nomor lima. “Kuil dibangun berdasarkan wangsit sehingga letaknya tidak mesti berurutan,” jelas Adi.
Kuil keempat, yang diapit kuil kelima dan keenam merupakan persemayaman arwah leluhur yang dilambangkan dengan lima raja. Adapun kuil kelima ialah tempat pemujaan Suhu Tao dan kuil keenam untuk memuja Kwan Im, Dewi Pengasih.
Lokasi tertinggi di kompleks kelenteng ini ditempati kuil ketujuh. Kuil terdiri dari dua bangunan terpisah dengan ketinggian berbeda. Di kuil ketujuh terdapat empat sesembahan yang menjadi perantara raja surga dengan manusia.“Sebetulnya ada delapan (kuil), tapi dua yang terakhir dianggap satu bangunan karena hanya pengembangan,” ujar Hendri.
Di antara kedua kuil ketujuh terdapat kolam untuk ritual melempar koin. Sebelum melempar, pengunjung berdoa sembari menggenggam koin dan mengayunkan kedua tangan layaknya orang memuja. Mereka yang berhasil melempar koin ke seberang kolam diyakini dikabulkan doa dan permintaannya.
Bekas pertapaan
Kelenteng Surga-Neraka berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Singkawang. Ini merupakan kelenteng tertinggi di Kalimantan Barat. Untuk sampai ke lokasi, pengunjung harus menyusuri jalanan menanjak. Jalan beraspal tersebut hanya bisa dilewati satu kendaraan roda empat.
Kelenteng pertama kali bangun oleh Chai Tiam Fat, seorang tokoh spiritual Tionghoa di Singkawang pada 1957. Chai sebelumnya bertapa di lokasi ini untuk memusatkan kekuatan guna melindungi warga Singkawang dari ancaman kekuatan jahat. Ia kemudian mendapat wangsit untuk membangun kuil di punggung Bukit Pasi tersebut.
“Lokasinya di bukit dan menghadap laut, strategis dan cocok dengan feng shui,” jelas Hendri.
Chai membangun kuil secara bertahap hingga menjadi kompleks kelenteng terbesar di Kalimantan Barat. Kompleks ini terakhir dipugar pada 2005 bersamaan dengan peresmian Yayasan Dharma Suci Mulia.
Tempat bersantai
Kelenteng Surga-Neraka sering dikunjungi warga dari luar Kota Singkawang. Pengunjung paling ramai saat perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh. Selain beribadat, mereka juga ingin menyaksikan ritual penyucian diri para tatung. Tatung ialah sebutan untuk paranormal yang dirasuki arwah leluhur saat perayaan Cap Go Meh.
Para tatung berparade di jalan raya untuk menyucikan kota dari anasir jahat. Mereka berparade sembari memamerkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam. “Chai Tiam Fat itu seorang tatung. Dia dahulu juga menggelar ritual bersama tatung lain di sini,” kata Hendri.
Arsitektur kuil di Kelenteng Surga-Neraka juga unik dan menarik. Beberapa kuil terlihat meriah dengan kelir beraneka warna. Corak dan bentuk bangunan juga beragam rupa. Keberadaan kuil pun terlihat mencolok di antara hijau pepohonan.
Pengunjung kelenteng tidak hanya dari kalangan Tionghoa. Kunjungan pun tidak selalu berkaitan dengan perayaan atau tradisi tertentu. Banyak warga datang lantaran penasaran dengan julukan kelenteng, atau ingin menikmati panorama alamnya. “Waktu Lebaran (Idul Fitri) juga banyak yang datang ke sini untuk bersantai,” ujar Adi.
Pemandangan alam yang membentang di hadapan kompleks kuil memang menarik untuk dinikmati. Sebagian dari sisi hijau wilayah Singkawang hingga batas pantai terlihat jelas dari punggung bukit tersebut. Semilir angin laut yang menuju perbukitan pun acap kali menggoda pengunjung untuk merebahkan badan dan memejamkan mata sejenak.
“Kalau mau tidur-tiduran tidak apa-apa, asal sopan dan bukan di tempat ibadah,” pungkas Adi. lihat juga di sini
COMMENTS