Kaum perempuan dilatih menggali potensi, mengolah, dan merencanakan keuangan agar berdaya dan mandiri.
ARIES MUNANDAR
KEUANGAN model tambal sulam dilakoni Agus Samsiar selama 14 tahun. Ekonomi keluarganya terpuruk setelah dia dan suami diberhentikan dari sebuah perusahaan perkayuan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Perusahaan itu bangkrut lantaran kesulitan bahan baku. Ikhtiar suami Agus yang akhirnya memilih bekerja di Malaysia tidak banyak menolong perekonomian keluarga. Kiriman gaji setiap bulan kerap ludes hanya dalam sepekan. Agus pun harus pontang-panting sendiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga akhirnya ia berutang dengan bunga mencekik.
“Saya pernah meminjam uang ke rentenir dengan bunga 35% per bulan,” ungkap warga Kelurahan Parit Mayor, Pontianak, ini, Kamis (2/6).
Agus mengaku dia memang seorang pemboros. Pendapatan keluarga sebenarnya lebih sering dibelanjakan untuk keperluan pribadi. Perempuan 44 tahun itu terjebak dalam pola hidup konsumtif tanpa diimbangi pendapatan memadai. Belakangan, ia menyadari kekeliruannya.
Sejak berhenti bekerja, Agus aktif di sebuah kelompok pemberdayaan perempuan di lingkungannya untuk pengisi waktu luang. Melalui kelompok dampingan dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Borneo itu, Agus akhirnya banyak belajar soal pemberdayaan. Satu di antaranya menggali potensi pendapatan alternatif untuk keluarga.
“Tamat dari SMA, saya langsung bekerja selama 14 tahun, sehingga waktu itu tidak sempat mengikuti kegiatan di kampung,” ujar Ketua RT 1/RW 4 itu.
Agus kemudian mengembangkan kerajian keripik pisang guna menopang perekonomian keluarga. Dia memasarkannya di beberapa toko di Pontianak dan wilayah di sekitarnya. Permintaan produk itu biasa meningkat menjelang Lebaran. Keripik bikinan Agus bahkan menembus pasaran di Serawak, Malaysia, walaupun masih dalam jumlah terbatas.
Usaha yang ditekuni Agus semakin mantap setelah ia menempuh Pendidikan Keuangan untuk Perempuan Usia Matang. Perempuan yang kini tengah menyelesaikan pendidikan strata satu itu tidak lagi pusing mengatur keuangan untuk keluarga maupun usahanya. Setiap pendapatan dan pengeluaran bisa terukur karena telah terencana matang.
Pendidikan keuangan itu juga dirasakan betul manfaatnya oleh Mahwiyah, 57. Dia mengaku keuntungan usahanya terdongkrak sejak mengikuti pendidikan tersebut. Itu lantaran semua transaksi tercatat rapi dalam pembukuan khusus. Perencanaan usaha juga semakin gampang karena keuntungan dan kerugian bisa dianalisis dan diproyeksi.
“Kalau dahulu, sering kelupaan karena mencatatnya sembarangan, seingatnya saja. Oh, ternyata ada tagihan belum dilunasi. Oh, ada yang belum menyetor (penjualan),” ungkap warga Kubu Raya yang memiliki usaha jamu instan itu.
Lain lagi cerita Idawati, 42. Dia bersama kelompoknya justru terinspirasi untuk membuat usaha bersama setelah mengikuti pendidikan keuangan. Ida dan kawan-kawan memutuskan menggeluti usaha pengolahan sampah untuk menjadi produk kerajinan tangan. Sampah ada yang dibeli, tapi ada juga sumbangan dari warga setempat.
“Mereka pun tidak pernah mematok nilai sampah yang dijual. Harganya terserah, seiklasnya saja. Kadang ada yang menyumbang juga, tapi kami sering pula memulung sampah di pasar,” ujar warga Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, itu.
Usaha daur ulang tersebut menerapkan sistem bagi hasil penjualan kepada anggota yang berjumlah 10 orang. Selain memiliki pendapatan tambahan, anggota mereka kini memiliki aset berupa tabungan di bank maupun di kelompok. Mereka optimistis usaha tersebut berprospek bagus walaupun masih terkendala permodalan dan pemasaran.
“Perempuan harus memiliki aset pribadi, atas nama mereka sendiri. Ini penting untuk berjaga-jaga, untuk menjamin masa depan mereka, juga keluarga,” jelas Pengurus Asosiasi PPSW Indonesia Tri Endang Sulistyowati.
Sarjana seumur hidup
Pendidikan Keuangan untuk Perempuan Usia Matang berlangsung selama enam bulan, dengan waktu belajar sekitar 2 jam setiap pekan. Para peserta dididik untuk mengembangkan potensi diri, dan merancang anggaran serta tabungan keluarga. Mereka juga dilatih merencanakan keuangan untuk masa tua dan berinvestasi.
Pendidikan yang diselenggarakan PPSW Borneo itu pun membedah manfaat jaminan sosial, strategi pengambilan keputusan, hingga menulis surat wasiat. Strategi dan pola membangun komunikasi sehat di keluarga juga turut diajarkan ke setiap peserta. Rangkaian materi tersebut disarikan dalam enam modul dan diperkuat dengan simulasi serta praktik.
“Pendidikan ini ingin mewujudkan perempuan berdaya dan mandiri untuk menuju masa tua mapan,” kata Direktur PPSW Borneo Reny Hidjazie.
Pendidikan keuangan yang disokong Citi Foundation itu tersebar di beberapa kelompok belajar di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, dan Kayong Utara. Sekolah Citi, demikian peserta biasa menyebut program yang telah berlangsung sejak 2011 itu. Tercatat ada 1.052 alumnus Sekolah Citi di Kalimantan Barat.
Alumnus terdiri dari anggota kelompok dampingan PPSW Borneo yang belum maupun sudah memiliki usaha produktif. Tingkat kelulusan dalam pendidikan itu mencapai 90% dari total peserta di sembilan angkatan. Alumni juga ada yang berasal dari kelompok dampingan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain.
“Belakangan kami memprioritaskan kelompok basis dampingan PPSW karena banyak yang berminat. Saat ini, hampir 90% anggota kelompok dampingan sudah mengikuti Sekolah Citi,” lanjut Reny.
Setelah lulus dari pendidikan, para siswa Sekolah Citi akan diwisuda, selayaknya sarjana atau lulusan baru perguruan tinggi. Prosesi pengukuhan berupa pengalungan pin dan pemberian sertifikat biasa dihadiri kepala daerah dan pejabat setempat. Gelar sarjana seumur hidup pun disematkan kepada alumni lantaran ilmu mereka bakal bermanfaat sepanjang hayat. lanjut ke: Melek Keuangan demi Kebebasan Finansial
lihat juga di sini
lihat juga di sini
COMMENTS