Keberadaan hutan Desa Manjau sangat menguntungkan masyarakat sekitarnya. Sumber air tidak pernah mengering merupakan rezeki melimpah bagi masyarakat wilayah Gunung Palung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat itu.
ARIES MUNANDAR
METERAN ditarik Santo hingga melingkari pohon. Dia dibantu Tawir hendak mengukur diameter, untuk mengetahui pertumbuhan tegakan tersebut. Rekannya, Riki mengamati alat meteran itu, kemudian hasilnya dicatat di lembar isian pada sebuah buku khusus. Satu dari rangkaian rutinitas mereka tuntas saat menjelang siang.
Pengukuran diameter pohon dilakukan Santo dan rekannya sembari berpatroli mengamankan wilayah hutan desa. Patroli digelar selama sepekan setiap bulan. Mereka seharian menyusuri rimba sejauh 2 kilometer dengan berjalan kaki. Ada kalanya tim patroli harus bermalam di hutan karena beratnya medan. “Kami juga melakukan penanaman pohon saat berpatroli di hutan,” ujar Santo, 31.
Tim patroli beranggotakan masing-masing lima orang untuk satu kali bertugas. Tim ini merupakan warga setempat yang dibekali dengan alat tebas, alat ukur, alat tulis, global positioning system (GPS), serta kamera sebagai perangkat kerja.
Kondisi hutan dan berbagai temuan selama berpatroli didokumentasikan, kemudian dicatat lengkap beserta titik koordinat sebagai laporan. Kualitas dan kuantitas sumber air di hutan tidak luput diamati. Debit dan ketinggian permukaannya diukur secara berkala untuk memastikan pasokan air mencukupi kebutuhan warga.
Tim patroli juga harus mengamati kondisi dan aktivitas di luar wilayah hutan desa yang berpotensi mengancam kelestarian kawasan. “Ada yang membuka ladang di dekat batas hutan desa. Itu harus dipantau jangan sampai masuk ke kawasan (hutan desa),” kata Riki, 19.
Satwa dan tumbuhan langka pun menjadi hal lumrah ditemukan saat patroli. Ada enggang gading, burung yang menjadi maskot Kalimantan Barat. Ada juga kelempiau, berbagai jenis melata, aneka jamur hutan, dan bunga bangkai. “Kami pernah menemukan cakar beruang di sebuah pohon,” ungkap Tawir, 17.
Kearifan lokal
Hutan Manjau berada di Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, memiliki luas 1.070 hektare. Lokasi hutan ada di perbukitan yang mengapit Dusun Manjau di sisi barat dan timur.
Hutan Manjau memiliki sumber air yang tidak pernah mengering saat kemarau panjang sekalipun. Air tersebut dialirkan ke perkampungan untuk memenuhi kebutuhan warga. Itu sebabnya, hutan begitu dijaga kelestariannya karena dianggap sebagai sumber penghidupan. (BACA: Menjodohkan Kambing Jomblo)
“Hilang hutan, hilang air, hilang pula kehidupan. Semua akan mati bila hutan ini tidak dijaga,” ujar tokoh masyarakat Desa Laman Satong Yohanes Terang, 60, Sabtu (27/8).
Terang pernah pasang badan menghadapi ekspansi sebuah perusahaan di zaman kejayaan industri perkayuan sekitar tiga dekade silam. Mantan Kepala Desa Laman Satong ini menghalau pembangunan jalan pelintasan kayu yang hendak merambah hutan Manjau.
Hukum adat juga diberlakukan agar kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) ini tetap menghijau. Setiap pelanggar wajib menyiapkan tajau sebagai denda adat. Satu tajau atau tempayan adat jika dinominalkan setara Rp1 juta-Rp2 juta.
Aturan adat tentang pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan fungsi hutan tersebut kemudian disahkan menjadi peraturan desa pada 2013. “Di hutan desa juga banyak tempat untuk berdoa. Dan (ritual) bayar niat sehingga dikeramatkan,” kata Demung atau Kepala Adat Desa Laman Satong Perikan.
Tradisi menghargai alam memang begitu lekat dengan kehidupan komunitas adat Dayak Tolak Sekayu ini. Pohon di pekarangan rumah bahkan tidak boleh sembarangan ditebang pemiliknya sekalipun. “Harus seizin demung terlebih dahulu sebelum ditebang,” lanjut Perikan.
Status hutan
Hutan Manjau ditetapkan sebagai hutan desa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 493/2011. Arealnya meliputi zona lindung seluas 654 hektare dan zona rehabilitasi atau pemanfaatan seluas 416 hektare. Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD) Manjau menjadi pengelola kawasan.
“Setiap warga tetap berhak mengelola dan memanfaatkan hutan ini sepanjang tidak merusak lingkungan. Semisal, membuka lahan untuk perladangan atau berburu satwa,” jelas Ketua LDPHD Manjau Yohanes Heriyono Dogol.
Penetapan hutan desa merupakan upaya lanjutan yang dilakukan warga untuk menjaga kawasan ini tetap menghijau. Ini lantaran wilayah mereka kini dikepung konsesi perusahaan kelapa sawit.
Berdasarkan pantauan di lapangan, selain berbatasan dengan ladang milik warga, hutan desa Manjau juga berimpit dengan konsesi perusahaan. Status kawasan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) juga menjadi permasalahan tersendiri. Hutan yang ada di seluruh desa sewaktu-waktu bisa berubah fungsi menjadi perkebunan, pertambangan, dan areal peruntukan lainnya.
“Sekitar 100 persil sertifikat yang diajukan sewaktu Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria) dibatalkan Badan Pertanahan Nasional. Katanya, ada surat dari MS Kaban, Menteri Kehutanan saat itu yang menyatakan desa ini merupakan kawasan HPK,” ungkap Sekretaris Desa Laman Satong Idi.
Kepala Seksi Pembinaan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, A Syamsudin, menanggapi masalah itu, dijelaskan bahwa perubahan peruntukan lahan bergantung usulan pelepasan kawasan. Usulan bisa diajukan pemerintah maupun pihak swasta. Namun, dia memastikan hutan Manjau aman dari ancaman konversi lahan.
“Penetapan hutan desa otomatis memproteksi kawasan tersebut. Jadi, sepanjang penetapan itu belum dicabut dan fungsi pengelolaannya berjalan, tidak ada masalah,” tegasnya. LANJUT KE: Wakaf Belantara untuk Menjaga Suhu Bumi
COMMENTS