EVAKUASI terhadap Bianka berlangsung alot. Pemiliknya tidak rela melepas begitu saja anak orang utan tersebut. Mereka menuntut ganti rugi karena telah mengeluarkan biaya cukup besar untuk merawat Bianka. Apalagi, primata bernama Latin Pongo pygmaeus berusia sekitar tiga tahun itu tidak diperoleh secara gratis.
“Saya tahu memelihara orang utan itu melanggar undang-undang, tapi saya minta ganti rugi karena sudah mengeluarkan biaya untuk merawatnya,” kata Ayu Puri kepada tim evakuasi di Desa Randau Jungkal, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Rabu (5/10).
Tim evakuasi akhirnya melibatkan polisi yang dipimpin Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Sandai Ajun Komisaris Rully Robinson. Perwira polisi itu pun turut membujuk Ayu dan Haerul serta menjelaskan risiko yang bakal dihadapi saat Bianka beranjak dewasa. Primata itu, menurutnya, bisa saja menyerang dan mencelakai Ayu dan anggota keluarga.
“Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya nanti dirantai juga, dikandangkan, atau malah dibunuh,” tegas Rully.
Bianka akhirnya dibawa ke Pusat Penyelamatan dan Konservasi Orang Utan di Ketapang yang dikelola Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Direktur Program YIARI Ketapang Karmele L Sanchez mengapresiasi sikap responsif pihak kepolisian. “Mereka telah membantu menyelamatkan orang utan dan memberi pemahaman kepada masyarakat.”
Menurut Ayu, Bianka diperoleh pada 2014 dari seorang warga di daerah Beginci, Kabupaten Ketapang. Kasihan melihat Bianka yang dirantai di pohon, Ayu pun menebus seharga Rp500 ribu.
Ayu mengaku Bianka selama ini begitu dekat dengannya sehingga selalu mengikuti ke mana pun dia pergi. Dia bahkan tidak segan mengunyahkan makan untuk peliharaannya. “Tidurnya pun dengan saya.”
Pemeliharaan orang utan itu sejatinya sudah lama terendus. Tahun lalu YIARI memperoleh informasi tersebut dari laporan warga. YIARI kemudian menerjunkan Human Orang Utan Conflict Response Team (HOCRT) untuk memverifikasi laporan itu.
Percepat kepunahan
Bianka bukan satu-satunya orang utan yang dipelihara warga di Kalimantan Barat. Sepanjang tahun ini saja, YIARI telah menyelamatkan 10 orang utan dari pemeliharaan warga di Ketapang. Orang utan tersebut rata-rata dipelihara sejak anak-anak.
“Pemeliharaan orang utan diduga disertai kasus kematian induk lantaran setiap anak orang utan pasti hidup bersama induknya hingga berusia 6-8 tahun,” jelas Sanchez.
YIARI dalam beberapa kasus juga kerap menemukan kondisi orang utan yang mengenaskan akibat pemeliharaan awam. Selain dipelihara warga, satwa dilindungi itu sering kali menjadi korban konflik perebutan lahan dengan manusia.
Desa Mayak di Kecamatan Muara Pawan tercatat sebagai satu di antara daerah rawan konflik manusia dengan orang utan di Ketapang.
Laporan YIARI menyebut konflik di desa tersebut meningkat dari 40 kasus pada 2014 menjadi 65 kasus pada 2015. Eskalasi konflik terjadi sejak wilayah Desa Mayak dikepung perkebunan kelapa sawit.
Potensi konflik serupa juga terjadi di Desa Tanjungpura yang bertetangga dengan Desa Mayak. Survei YIARI pada 2014 memperkirakan ada 300 orang utan bermukim di hutan di sekitar desa tersebut. Ketersediaan pakan mereka semakin menyusut akibat alih fungsi lahan. Beberapa warga pun melaporkan kebun buah mereka dirusak orang utan.
Pemeliharaan dan berkonflik dengan warga bakal mempercepat kepunahan orang utan di habitat alam. Karena itu, tidak mengherankan bila Organisasi Konservasi Internasional (IUCN) menaikkan status orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dari satwa terancam punah menjadi sangat terancam punah (kritis).
Menurut catatan IUCN, penyusutan populasi orang utan di Kalimantan diperkirakan mencapai 86% dalam 75 tahun.
“Selain rendahnya pemahaman warga mengenai undang-undang konservasi, kondisi penegakan hukum turut memperparah persoalan,” ucap Sanchez. (Aries Munandar)
COMMENTS