Tradisi permainan meriam karbit berkaitan dengan legenda berdirinya Kota Pontianak oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada 1771.
Aries Munandar
PERMAINAN meriam karbit menjadi tradisi di saban pengujung ramadan di Pontianak, Kalimantan Barat. Meriam yang dimainkan berbentuk meriam raksasa berdiameter rata-rata 0,5 meter dengan panjang hingga lebih dari 5 meter. Bahan baku meriam terbuat dari balok kayu bertekstur keras.
Meriam biasa dimainkan saat tiga hari menjelang dan setelah lebaran atau Idulfitri. Tradisi ini dipusatkan di sepanjang pinggiran Sungai Kapuas. Para pemain terdiri atas beberapa kelompok warga dengan posisi meriam menghadap sungai. Dentuman meriam mereka pun menggelegar hingga terdengar sejauh belasan kilometer.
Atraksi meriam mirip peperangan karena suara mereka bersahutan-sahutan dari berbagai penjuru. Apalagi, dentuman serupa juga menggelegar dari meriam yang dimainkan kelompok warga lain di seberang sungai. Api pun menyembur dari setiap mulut meriam yang disulut.
Tradisi permainan meriam berkaitan dengan legenda berdirinya Kota Pontianak oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada 1771. Sultan pertama Kerajaan Pontianak tersebut menggunakan meriam saat mengusir mahluk halus yang mengganggu perjalanan rombongannya. Senjata ini kemudian direplikasi oleh warga menjadi meriam karbit.
Walaupun baru dimainkan saat menjelang lebaran, meriam karbit sudah disiapkan jauh-jauh hari oleh warga. Mereka biasa mulai membuat atau merenovasinya sejak awal ramadan. Tradisi ini juga menjadi ajang perlombaan dalam bentuk festival yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Pontianak.
Warga pun berlomba mempercantik meriam mereka dengan berbagai ornamen. Penampilan fisik meriam memang menjadi satu di antara kategori penilaian lomba. Selain kualitas bunyi, kekompakkan tim, dan unsur keamanan serta ketertiban di lokasi permainan. Penonton pun diperkenan oleh warga untuk ikut menyulut meriam. Buuum!
COMMENTS