“Salah, nih! Kenapa jadi
begini? Mata (persilangan daunnya) ada empat, sedangkan satunya tiga. Ini tidak
seimbang (bentuknya tidak proporsional),” kata Halimah mengoreksi pekerjaan
Desi yang duduk di sisi kirinya.
Perempuan berusia 60
tahun itu pun dengan telaten membimbing Desi membenahi bentuk anyaman. Karena
kesalahannya fatal, hasil pekerjaan Desi tersebut akhirnya dibongkar dan
dimulai kembali dari awal.
“Kalau tidak pernah
salah, bukan belajar namanya. Saya memang baru kali ini menganyam,” kata Desi
sembari tertawa.
Kesalahan itu justru
membuat Desi makin penasaran. Setelah berjam-jam, ibu berusia 34 tahun tersebut
pun berhasil menyelesaikan anyamannya hingga menjadi bakul atau besek.
“Agak susah memang bagi
kami yang belum terbiasa menganyam. Membuatnya belum pas (mahir),” kata
Herlinda, 43 tahun, perempuan yang duduk sebarisan dengan Halimah.
Halimah menyelesaikan
anyaman sekaligus mengajarkan keterampilan itu kepada para perempuan muda di
Dusun Maju Bersama, Desa Kalibandung, Kecamatan Sungairaya, Kabupaten Kubu
Raya, Kalimantan Barat. Mereka harus merampungkan sekitar 400 bakul pesanan
seorang konsumen dari Pontianak.
Pembuatan bakul
berlangsung di kediaman Usman, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Kalibandung.
Dia merangkul Pengurus Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat dalam
menggiatkan usaha ekonomi produktif bagi kaum perempuan di desa mereka.
“Kami mengajak ibu-ibu
membangun usaha produktif melalui keterampilan menganyam bakul. Mereka yang
dahulu tidak bisa, sekarang sudah mulai bisa menganyam,” kata Usman saat
ditemui di kediamannya pada pertengahan Januari lalu.
Lestarikan tradisi
Pengembangan usaha
pembuatan bakul dilatarbelakangi kekhawatiran terhadap masa depan tradisi
menganyam. Pengurus LPHD Kalibandung tidak ingin tradisi itu lenyap dari
peradaban desa mereka.
Jumlah warga yang
terampil menganyam di perkampungan Melayu tersebut saat ini bisa dihitung
dengan jari. Itu pun rata-rata sudah sepuh. Mereka pun kemudian diminta
mewariskan tradisi itu kepada generasi penerus.
“Makin banyak warga yang
belajar berarti keterampilan menganyam tidak akan punah. Para pengajar juga
bersemangat karena mereka pun takut tradisi ini hilang,” jelas Usman.
Generasi terdahulu
rata-rata terampil menganyam. Mereka mengolah pandan liar, bambu, dan rotan
menjadi berbagai perkakas rumah tangga dan pertanian. Tradisi itu lambat laun
menghilang sejak warga mulai terbiasa menggunakan wadah berbahan plastik.
“Saya tidak pernah
secara khusus belajar menganyam. Hanya melihat dari orang tua kemudian mencoba
sendiri dan akhirnya bisa,” kata Samsinah, 60 tahun, perajin yang juga
mengajarkan keterampilan menganyam kepada para ibu muda di Dusun Maju Bersama.
Warga memanfaatkan daun
perupuk, sekek, sejenis pandan liar, dan rasau untuk dianyam menjadi bakul.
Tanaman sejenis pandan liar tersebut diperoleh dari sekitar Hutan DesaKalibandung.
“Kami juga berencana
membudidayakannya untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan bahan baku seiring
meningkatnya permintaan bakul. Orang-orang tua kami dahulu juga sudah
membudidayakannya,” kata Usman.
Daun perupuk, sekek
maupun rasau dipenuhi duri sehingga mesti disiang, setelah dibuang pelepahnya.
Dedaunan sepanjang 1 meter tersebut kemudian direbus dengan air agar teksturnya
melunak. Setelah itu, jemur hingga mengering selama 1-2 hari.
Dedaun kering itu tidak
bisa langsung dianyam. Setiap helaiannya mesti dibelah selebar masing-masing 1
sentimeter dan kemudian dirapikan hingga lurus.
Penganyam biasa
mengesekkan daun ke tiang untuk meluruskan daun. Ada pula yang menghimpitkan
daun di antara paha dan potongan bambu atau pemberat. Pekerjaan itu dilakukan
berulang-ulang hingga daun melurus.
“Tidak semua daunnya
bagus setelah dikeringkan. Ada beberapa yang masih keras sehingga harus
direndam dengan air supaya lembut dan mudah dianyam,” jelas Samsinah.
Akses pasar
Kegiatan menganyam juga
kembali menggeliat di Dusun Maju Terus, Desa Kalibandung. Warga setempat
memanfaatkan bambu untuk membuat pelbagai perkakas rumah tangga dan pertanian,
termasuk bakul atau besek.
Walaupun pengolahan
bahan baku dan tekniknya tidak jauh berbeda, menganyam bambu lebih rumit ketimbang
pandan. Teksturnya lebih kaku dan permukaannya juga kasar serta tajam. Perajin
bisa terluka sewaktu meluruskan helaian bambu kering tersebut sebelum dianyam.
“Ini buktinya.
Permukaannya tajam sehingga mesti hati-hati supaya tidak melukai tangan,” kata
Ana, 57 tahun, sambil menunjukkan jari tangan kanannya yang dibebat perban.
Para pengrajin di
komunitas adat Dayak ini mendapatkan bahan baku dari hasil budi daya warga
setempat. Mereka menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik bambu.
“Pengambilannya tidak
boleh serampangan karena bisa mematikan bambu lain. Jadi, menebangnya tidak
langsung dibabat, tetapi mesti pelan-pelan (seperti ditatah) sambil (batangnya)
ditarik per lahan (hingga rebah),” jelas Juliana, 38 tahun, pemilik bambu.
Inisiatif memasyarakatkan
kembali tradisi menganyam di Dusun Pulau Maju dimotori Yuliana, 47 tahun.
Pengurus PKK Desa Kalibandung tersebut menghimpun kaum perempuan di sekitar
tempat tinggalnya untuk merintis usaha pengayaman. Mereka pun berjejaring
dengan LPHD Kalibandung dalam membuka akses pasar.
“Kami bersepakat
merintis usaha penganyaman. Semua hasilnya nanti dibagikan diantara mereka.
Saya tidak akan mengambil keuntungan apa pun,” kata Yuliana.
Pelestarian tradisi
menganyam di Desa Kalibandung juga memanfatkan momentum pembukaan akses pasar
oleh Pemerintah Kabupaten Kubu Raya. Mereka mewajibkan setiap instansi daerah
mengunakan wadah berbahan serat alam untuk menggantikan kotak dari kertas atau
plastik sebagai kemasan makanan dan paket oleh-oleh.
“Peraturan Bupati Kubu
Raya Nomor 99/2020 mewajibkan setiap instansi daerah menggunakan produk lokal,
termasuk wadah dari serat alam. Regulasi ini untuk memantik masyarakat
memproduksi berbagai produk kuliner maupun kerajinan lokal. Pasarnya sudah
jelas,” kata Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Pemasaran produk anyaman
dari Desa Kalibandung juga dibantu oleh Jari Indonesia Borneo Barat, lembaga
swadaya yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Mereka berencana
memasarkan produk tersebut secara daring dan juga bekerjasama dengan Dewan
Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kubu Raya.
“Pelatihan khusus
pemasaran memang belum ada. Kami hanya membantu kelompok perajin merancang
analisis usaha untuk menentukan harga produk dan membantu memasarkannya. Kami
juga sedang mendekati Dekranasda Kubu Raya supaya ikut memasarkan besek dari
Kalibandung,” kata Sumiati, staf Jari Indonesia Borneo Barat.
COMMENTS